taman. Taman itu bukan tempat yang istimewa, hanya sebuah taman kecil dengan beberapa pohon rindang dan air mancur yang gemericik perlahan. Namun, bagi pria tua itu, taman tersebut adalah satu-satunya tempat di mana ia masih merasa ada sesuatu yang nyata.
Di sebuah kota yang sibuk, di antara deru kendaraan dan hiruk pikuk manusia yang terburu-buru, hiduplah seorang pria tua yang setiap sore duduk di bangkuNamanya Pak Irwan. Tubuhnya ringkih, langkahnya pelan, dan matanya sering kosong, seakan melihat dunia yang berbeda dari yang dilihat orang-orang di sekitarnya. Setiap sore, ia membawa sepotong roti yang ia suwir kecil-kecil dan lemparkan ke atas tanah. Merpati-merpati kecil akan datang, mematuk remah-remah itu, sementara Pak Irwan memperhatikan mereka dengan senyum tipis di wajahnya.
Namun, ada satu merpati putih yang selalu menarik perhatiannya. Merpati itu berbeda dari yang lain. Tubuhnya lebih bersih, lebih besar, tapi tampak bingung. Setiap kali terbang, ia melingkar di udara tanpa arah, seolah tak tahu ke mana harus pergi.
Merpati putih itu selalu kembali ke taman, tapi tidak pernah bergabung dengan merpati lainnya. Ia hanya berdiri di sudut, menyaksikan dari kejauhan, sementara yang lain memperebutkan sisa-sisa roti. Pak Irwan sering bertanya-tanya, mengapa merpati itu selalu tampak tersesat?
Suatu sore, ketika langit mulai berubah jingga dan angin dingin meniup dedaunan kering, Pak Irwan memutuskan untuk mencoba mendekati merpati putih itu. Ia berjalan perlahan, hatinya diliputi perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan. Merpati itu tetap diam di tempatnya, memandang Pak Irwan dengan mata yang sayu.
Pak Irwan duduk di bangku dekatnya, lalu menghela napas panjang. "Apa kau tersesat?" gumamnya lirih, seolah-olah merpati itu bisa mengerti. "Atau... kau hanya tak tahu ke mana harus pulang?"
Merpati putih itu tak bergerak, hanya berdiri dengan kepala sedikit tertunduk. Pak Irwan merasa ada sesuatu yang menghubungkannya dengan burung kecil itu---sesuatu yang mendalam, mungkin rasa kehilangan yang sama.
Pak Irwan pernah punya keluarga. Istrinya, Sinta, dan putra semata wayangnya, Bayu. Dulu, mereka sering datang ke taman ini bersama. Sinta selalu tertawa kecil ketika melihat Bayu berlari mengejar merpati. Hidup Pak Irwan penuh dengan tawa, hangat, dan cinta. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah.
Bayu pergi ketika usianya masih muda, jauh lebih muda dari yang seharusnya. Kecelakaan di jalan tol yang merenggut nyawa anak semata wayangnya membuat dunianya runtuh. Tak lama kemudian, Sinta jatuh sakit, mungkin karena hatinya juga hancur. Dan hanya dalam beberapa bulan, Pak Irwan kehilangan keduanya. Rumah yang dulu penuh canda berubah sunyi. Setiap sudut menyimpan kenangan yang semakin menyakitkan.
Kini, hanya taman ini yang tersisa. Tempat di mana ia masih bisa mengenang mereka, meski hanya dalam bentuk bayang-bayang samar.
Ia menatap merpati putih itu lagi. "Aku juga tidak tahu jalan pulang," bisiknya. "Aku tidak tahu lagi ke mana harus pergi."