Tanpa terasa sudah 100 hari berlalu pemerintahan Jokowi dalam periode keduanya ini.Â
Kalau dilihat secara obyektif, memang dalam seratus hari ini sudah banyak yang dicapai Jokowi, terutama di bidang pembangunan infrastruktur dan ekonomi. Hal itu merupakan kelanjutan dari program primadona yang sudah diusung Jokowi sejak ia menduduki kursi kepresidenan.
Soal infrastruktur, sulit untuk disangkal bahwa selama Jokowi berkuasa, sangat banyak perkembangan yang telah dirinya capai. pelabuhan, jalan tol, pembangunan kawasan perbatasan adalah contoh konkrit yang bisa kita lihat.
Dari sisi ekonomi, walau banyak kritik yang Jokowi terima, terutama menyangkut jumlah hutang selama periode berkuasa, tetap tak bisa disangkal bahwa ekonomi saat ini relatif stabil dan ada kecenderungan membaik.
Namun, ada masalah yang nampaknya dalam periode keduanya ini menimbulkan banyak tanda tanya. Terutama hal yang menyangkut komitmen Jokowi terhadap kelestarian alam atau konservasi dan anti korupsi.
Untuk kasus korupsi, kontroversi sudah muncul ketika terjadi hiruk pikuk pikuk pemilihan pimpinan KPK dan perubahan UU KPK.Â
Dari dua hal tersebut, banyak kalangan menilai Jokowi berkompromi sehingga komitmennya terhadap sikap anti korupsi dipertanyakan.Â
Gelombang penolakan dari kalangan aktivis Anti korupsi, mahasiswa dan para tokoh cendekiawan yang beroposisi nampaknya tidak membuat Jokowi bergeming untuk mengubah UU Anti Korupsi.Â
Usul agar Pemerintah mengeluarkan Perpu agar perubahan  UU tersebut dibatalkan tidaklah dia hiraukan. Walau ratusan dosen  memprotes dan tokoh masyarakat secara khusus bertemu dengannya. (Kompas.com)
Sikap keras Jokowi dalam kasus ini sungguh menimbulkan tanda tanya besar: apakah Jokowi tidak peduli pada penegakan hukum kasus korupsi yang sampai saat ini benar- benar masih menjadi musuh nomor satu bangsa ini?
Pertanyaan besar kedua adalah mengenai sikap Jokowi terhadap usaha melestarikan alam di negeri ini.Â
Keraguan itu muncul ketika terhembus isu kebijakan bahwa IMB dan Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL akan dihilangkan dalam proses pembangunan. (Mongabay.co.id)
Padahal, penerapan proses AMDAL dalam kegiatan pembangunan sangatkah penting agar kegiatan tersebut tidak berdampak negatif pada keseimbangan alam. Â Dampak negatif ini tentu akan berakibat bencana, karena daya dukung alam tidak mampu menopang pembangunan yang tidak memperhatikan dampak buruk lingkungan tersebut.
Kedua pertanyaan besar ini menimbulkan pertanyaan yang lebih besar. Mengapa kedua hal tersebut seperti diabaikan Jokowi?
Alasan pertama yang patut diduga adalah Jokowi sedang berpacu dengan waktu.Â
Dengan sisa jangka satu periode, nampaknya Jokowi merasa banyak impiannya akan sulit terwujud. Hal itu justru menjadi pembelajaran yang dirinya dapat dari periode pertamanya.Â
Ya pada lima tahun pertama, waktu Jokowi tergerus karena ada banyak masalah politik yang harus dia hadapi.
Kita masih ingat, bagaimana koalisi pendukungnya saat itu terbilang lebih kecil daripada koalisi oposisi. Walau dirinya menang sebagai presiden, namun legislatif dikuasai oleh koalisi partai oposisi.Â
Tentu situasi ini akan menyebabkan keinginan dan kebijakan Jokowi akan terhambat jika hal itu dijegal oleh para politikus di DPR.
Mau tak mau dirinya harus membalikkan situasi agar partai koalisinya bisa menguasai kursi di sana. Dalam hal ini, nampaknya permainan catur politik Jokowi cukup berhasil, karena para lawan bisa diubahnya menjadi kawan.Â
Namun kemenangan itu tentu menimbulkan juga harga yang harus dia bayar, yaitu banyak waktunya untuk menjalankan program dan janjinya yang terbuang.Â
Salah satu yang dirinya secara gamblang akui, tidak berhasil menyelesaikan masalah Pertamina karena tidak satupun kilang minyak yang berhasil dirinya bangun dalam periode pertamanya. (Kompas.com)
Padahal ini adalah salah satu pembangunan strategis yang sangat ingin dirinya lakukan. Tentu dalam hal ini, gagalnya pembangunan kilang tersebut, selain masalah teknis, adalah kendala waktu yang sebagian dia harus berikan untuk menyelesaikan masalah politik.
Untuk periode kedua, Jokowi nampaknya tidak mau masuk ke lubang masalah yang sama.Â
Hal itu nampak dari usahanya merangkul mayoritas partai politik sejak awal dia mau bertarung untuk periode keduanya. Dalam hal ini dirinya cukup berhasil. Bahkan tokoh utama oposisi sukses dia rangkul untuk masuk ke kabinetnya.
Namun kembali kemenangan ini tentulah tidak gratis. Dia harus tetap menjaga agar koalisinya itu tidak terpecah lagi.Â
Dalam hal ini, kasus KPK nampaknya salah satu hal yang harus dibayar Jokowi.Â
Sudah menjadi rahasia umum, keinginan untuk mengubah UU KPK selalu dimotori oleh mereka yang duduk di kursi legislatif. Tujuannya jelas, karena KPK dianggap mengganggu mereka dalam melakukan "transaksi" dalam melanggengkan kekuasaan mereka.
Nampaknya momentum saat Jokowi takut bahwa mayoritas partai politik mengganggu rencana pembangunannya di periode keduanya ini dipakai oleh para politikus yang ada di legislatif dan eksekutif.Â
Hal itu nampak dari berbagai pernyataan yang Jokowi sampaikan, bahwa inisiatif perubahan itu datang dari legislatif sehingga dia tidak dapat berbuat banyak. (Liputan6.com)
Apalagi wakil pemerintah  yang membidangi hal tersebut di eksekutif adalah juga seorang tokoh politik.
Jadi, situasi Jokowi memang terjebak dalam satu dilema. Jika ia menolak perubahan UU KPK maka dirinya harus berhadapan dengan para politikus di legislatif.Â
Hal ini tentu akan membahayakan kekuatan koalisi partai pendukung dirinya. Terlebih karena partai politiknya sendiri menjadi motor perubahan UU KPK tersebut.
Dan nampaknya, Jokowi juga mendapat keuntungan dari perubahan UU KPK tersebut.Â
Kalau sebelumnya independensi KPK pernah menyebabkan dirinya malu karena pejabat yang sudah dia tunjuk dibatalkan karena KPK menduga tokoh tersebut terlibat korupsi, sekarang ini dengan UU KPK yang baru, di mana ada Dewan Pengawas yang menurut para aktivis Anti korupsi adalah hasil pilihan dirinya, maka Jokowi dapat mengintervensi independensi KPK tersebut. (CNNIndonesia)
Untuk masalah komitmennya terhadap kelestarian alam, nampaknya juga bersumber dari kurangnya waktu yang dirasakan Jokowi untuk mewujudkan impian pembagiannya.Â
Tentu dengan adanya proses IMB dan AMDAL maka akan lebih banyak waktu yang diperlukan untuk mengerjakan setiap proyek pembangunan. Apalagi dirinya punya ambisi untuk membangun Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur dalam waktu relatif singkat 5 tahun.
Dalam hal ini, nampaknya Jokowi masih mau memastikan supaya tidak ada aturan yang bisa menghambat program - program yang ingin dirinya lakukan. Hal itu adalah dengan saat ini akan keluar Omnibus Law atau UU sapu jagad yaitu peraturan yang akan banyak memberikan pengecualian dalam mewujudkan program - progamnya. (Kompas.com)
Kalau boleh disimpulkan, saat ini pembangunan infrastruktur dan ekonomi adalah panglima yang  kedua hal di atas, konservasi dan anti korupsi jadi nomor dua.
Dengan pilihan ini maka muncul pertanyaan terbesar: apakah ini tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari? Sebesar apa harga yang harus dibayar bangsa ini di kemudian hari karena kebijakan ini?**MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H