Toh selama ini, KPK sudah diawasi dan mempertanggungjawabkan kegiatan dan keuangan mereka pada DPR. KPK juga sudah punya Dewan Etik internal yang selama ini telah berperan untuk menilai dan memutuskan jika terjadi pelanggaran etika bagi para pimpinan dan staf KPK.Â
Dalam hal ini, sudah terbukti bahwa para pimpinan KPK dan staf KPK bukanlah imun terhadap tindakan hukum. Sudah beberapa staf dan pimpinan KPK yang kena sanksi dan bahkan diberhentikan serta dipidana karena melanggar etika dan hukum.
Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Untuk poin ini, telah dipaparkan di atas. Kalau selama ini fungsi penyadapan langsung bisa dilakukan oleh KPK, namun dengan adanya peran Dewan Pengawas, maka pasti terjadi keterlambatan dan bahkan kegagalan dalam prosesnya.Â
Itu berarti tindakan OTT KPK yang selama ini begitu menakutkan para koruptor, setelah poin ini disetujui, maka operasi OTT pasti jauh berkurang dan para koruptor bisa tidur dengan tenang.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.
Keinginan untuk memasukkan poin ini sebenarnya tidak ditolak Jokowi, hanya dia menambah jangka waktu dari satu tahun menjadi dua tahun.Â
Kalau dilihat, roh mengapa KPK tidak bisa melakukan SP3 karena diharapkan para penyidik KPK tidak main - main dalam memutuskan suatu perkara. Karena begitu sudah diputuskan sebagai tersangka maka proses hukumnya tidak bisa dihentikan. Harus diselesaikan dengan tuntas.Â
Namun dengan adanya SP3 ini, roh ketelitian dan keakuratan para penyidik KPK akan hilang. Juga itu berarti, perkara - perkara besar korupsi tidak akan bisa lagi ditangani karena biasanya kasus besar seperti BLBI dan KTP elektronik membutuhkan waktu lama dalam proses penyidikannya, karena melibatkan banyak orang dan terorganisir bagai mafia.
Artinya jelas, setelah revisi ini KPK hanya akan menangani kasus korupsi kelas teri sajaÂ
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.