Ketujuh poin ini ibarat 7 paku yang menutup peti mati KPK. Mengapa?
Mari kita telaah satu persatu poin tersebut.
Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Untuk poin ini seolah KPK tidak berubah, karena ada kata "independen" didalamnya. Namun kenyataan nya perubahan ini justru menghilangkan frasa  KPK sebagai lembaga negara yang independen dan "bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun".
Dalam bahasa hukum, dengan perubahan frasa ini jelas ada ruang untuk melemahkan posisi KPK karena kata "indepen" menjadi abu - abu, tergantung interpretasi pihak yang punya kepentingan.
Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas.
Dalam hal ini, Jokowi tidak mengubah keinginan DPR untuk memasukkan lembaga tambahan pada KPK. Dalam catatan nya, Jokowi hanya mengusulkan mekanisme pemilihan Badan Pengawas tersebut yang dilakukan oleh panitia yang dipilih oleh Presiden.Â
Namun tentu saja DPR mau agar mereka juga punya peran untuk menentukan para anggota Dewan Pengawas tersebut. Di sini akan terbuka lagi satu area negosiasi yang bisa diduga sebagai ajang tawar menawar politik baru.
Selain itu, dengan adanya Dewan Pengawas maka rantai tindakan KPK akan diperpanjang karena Dewan Pengawas diberikan peran untuk melakukan penyadapan. Dengan demikian tentu juga akan mempengaruhi tindakan OTT yang menjadi momok paling menakutkan para koruptor selama ini.
Bahkan dengan menambah peran Badan Pengawas dalam hal ini bisa menggagalkan tindakan KPK karena bisa saja kepentingan penyadapan KPK tidak disetujui oleh Badan Pengawas.
Sebenarnya alasan menambah Dewan Pengawas sebagai dalih agar KPK tudak menjadi badan Super body atau "malaekat" adalah alasan yang dibuat - buat.Â