Ketika menulis artikel ini, saya teringat kenangan Indah pada saat menginjakkan kaki pertama kali di tanah Papua. Memang sudah lama penulis ingin berkunjung ke sana, namun kesempatan itu belum ada.
Syukurlah ketika Penulis bekerja di WWF peluang itu terbuka. Saat itu ada tugas untuk mengunjungi Taman Nasional Wasur di Merauke, ujung paling Timur Indonesia.
Kesan indahnya bumi Papua dan ramahnya masyarakat di sana sangatlah terasa. Hutan yang masih hijau, pantai indah dengan pasir putihnya dan sumberdaya alam yang melimpah. Â
Tidaklah mengherankan jika tanah Papua dikatakan sebagai "sepotong surga yang jatuh ke bumi"
Rupanya pijakan pertama itu bukan yang terakhir bagi penulis.  Karena kemudian aneka kerja di beberapa organisasi seperti Transparency  International (TI) dan UNODC menjadikan Papua sebagai tanah penulis berkarya.
Semakin sering ke tanah Papua, semakin menarik untuk dirasa.Â
Kebetulan beberapa tahun belakangan karena lokasi kerja maka sudah jarang mengunjungi Papua. Ada semacam kerinduan untuk mengunjungi salah satu pulau terbesar di Indonesia ini.
Maka dengan adanya insiden di Surabaya yang mengakibatkan Papua membara, ada rasa duka bercampur murka.Â
Ya, menyaksikan video dan komentar di sosial media sehubungan dengan insiden itu penulis bisa rasakan betapa teman - teman Papua sungguh terluka.Â
Seruan dan komentar rasis yang tersebar lewat media sosial bagai tetes cuka yang menerpa luka - luka yang masih belum sembuh dari peristiwa dan sejarah yang masih harus mereka tanggung.
Empati yang coba penulis resapi dari peristiwa itu sebenarnya adalah rasa yang juga pernah penulis alami bagaimana berada pada posisi yang sama.Â
Sampai saat ini pun jika saya mengatakan bahwa saya orang Dayak, masih ada yang mengernyitkan kening. Dan tetkadang disusul pertanyaan, "Dayak asli?".Â
Ada semacam ketidakpercayaan karena rupanya ada persepsi bahwa orang Dayak itu tidak seperti yang mereka lihat dalam diri saya.
Dari pengalaman inilah kemudian muncul pertanyaan pada diri sendiri: saat ini Papua membara, diri saya sudah berbuat apa? Apa yang menjadi pembeda dari mereka yang masih punya persepsi keliru dan prasangka berbeda itu?
Ada godaan untuk menyalahkan sistem, politik dan hal di luar diri. Padahal untuk melawan rasis justru harus dimulai dari diri sendiri. Untuk terus berusaha meyakini bahwa, perbedaan bukanlah ancaman tapi kekayaan.Â
Ada keyakinan yang rupanya harus senantiasa di pupuk bahwa nilai manusia itu sama, sebagai bagian inti kemanusiaan itu sendiri.Â
Ternyata merendahkan atau menghina karena berbeda ras, suku, warna kulit dan budaya justru merendahkan nilai kemanusiaan yang ada dalam diri  sendiri.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H