Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Bagi Masyarakat Dayak Hutan adalah Ibu

5 Juli 2019   22:04 Diperbarui: 17 Januari 2021   15:26 3487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: habis.manis.com

Bagi banyak orang bumi adalah ibu karena bumi memberikan kehidupan bagi manusia. 

Namun untuk masyarakat Dayak bukan hanya bumi secara umum tapi secara khusus menganggap hutan adalah ibu. Karena memang bagi suku Dayak hutan dengan segala sumber daya alamnya merupakan sumber penghidupan mereka.

Dalam tulisan "Hutan Darah dan Jiwa Dayak" dikatakan bahwa: tanah, sungai dan hutan adalah 3 elemen terpenting yang memungkinkan sesorang hidup sebagai orang Dayak sejati. 

Selama berabad-abad 3 elemen ini telah membentuk sebuah identitas yang unik yang kita kenal sekarang sebagai orang Dayak. 

Orang Dayak dapat mempertahankan eksistensi dan cara hidup mereka yang khas dengan menerapkan 7 prinsip dalam menejemen sumber daya alam, yaitu :

  1. Kesinambungan
  2. Kolektivitas
  3. Keanekaragaman
  4. Subsistensi
  5. Organik
  6. Ritualitas
  7. Hukum Adat 

Ketujuh sistem pengelolaan ini kalau dilihat adalah hal mendasar untuk menjaga alam ini agar tetap bisa bersahabat dan sungguh bisa secara lestari memberikan arti bagi diri manusia.

Walau banyak hal dan aktifitas yang bisa dihubungkan dengan ketujuh prinsip ini namun kegiatan yang paling jelas dapat kita lihat dalam proses berladang.

Ya, berladang untuk orang Dayak adalah kegiatan yang sarat akan simbol filosofis dan kepercayaan yang mereka anut.

Sumber gambar: aman.or.id
Sumber gambar: aman.or.id
Prinsip Kesinambungan

Prinsip kesinambungan dalam kegiatan berladang bisa dilihat dari rotasi areal yang dilakukan dalam berladang. Oleh karenanya sistem ini disebut sebagai sistem ladang berpindah.

Areal awal berladang pastilah dilakukan di hutan rimba atau hutan primer. Setelah areal itu selesai dipakai untuk berladang maka mereka akan mencari areal lainnya. Karena itulah disebutkan bahwa sistem kultifasi ini disebut sebagai sistem ladang berpindah.

Namun areal pertama itu bukan berarti ditinggalkan begitu saja, tapi ditinggalkan dengan sengaja agar lahan itu kembali pulih menjadi hutan sekunder dan setelah siklus kurang lebih 6 - 7 tahun maka akan kembali lagi ke areal yang sama. Lokasi bekas berladang itu dalam bahasa Dayak Pompakng disebut bawas.

Dengan cara ini maka kesinambungan kegiatan berladang dan ketersediaan pangan bisa terjamin.

Prinsip Kolektifitas

Cara untuk mengerjakan kegiatan berladang itu tentu tidak dilakukan sendiri tapi dengan cara gotong royong secara kolektif. Dalam hal inilah prinsip kolektifitas diterapkan. 

Prinsip kebersamaan itu dilakukan dalam semua tahap kegiatan berladang: menebas, menebang, membakar lahan, menanam, membersihkan gulma atau merumput dan panen.

Prinsip Keanekaragaman

Ada banyak orang yang menuduh bahwa kegiatan berladang yang dilakukan oleh masyarakat Dayak itu telah membahayakan keanekaragaman hayati. 

Tuduhan ini tidaklah benar. Masyarakat Dayak sangat sadar bahwa jika menghilangkan keanekaragaman hayati sama saja dengan membakar lumbung sendiri. 

Karena bagi mereka, hutan adalah supermarket di mana mereka bisa mengambil semua kebutuhan harian mereka seperti: sayuran, buah, ikan, daging, obat - obatan dan tempat rekreasi. 

Dalam masyarakat Dayak yang masih kuat memegang tradisi, tata ruang dan peruntukan areal hutan masih diatur secara ketat. Perijinan dan lokasi setiap kegiatan ditentukan penatua adat yang biasa disebut sebagai temenggung.

Tidak semua areal hutan boleh dijadikan ladang. Ada areal yang tetap dijadikan hutan rimba tempat mereka berburu dan mengambil bahan bangunan dan peralatan transportasi seperti perahu. 

Sebenarnya masyarakat Dayak tidak terlalu suka membuka hutan rimba atau hutan primer karena pohon - pohonnya yang besar akan sulit untuk dikerjakan sebagai ladang.

Areal berladang pun akan sangat memperhatikan kontur atau kemiringan lahan. Umumnya areal perladangan dilakukan di lembah atau lahan yang datar. 

Jadi hutan di atasnya masih ada. Ini berarti setelah habis berladang maka areal tersebut dengan cepat kembali berhutan dengan aneka pohon dan tanaman, karena hutan di atas lahan menjadi sumber bibit yang gampang dibawa angin, burung, binatang atau aliran air yang mengalir dari lahan yang lebih tinggi.

Dalam pembagian tata ruang  ada juga areal Tembawang, yakni kebun aneka buah - buahan milik bersama. Jenis buah - buah nya dari durian, cempedak, manggis, Langsat, mangga hutan, dan aneka buah eksotik Kalimantan.  

Sumber gambar: agroforestri
Sumber gambar: agroforestri
Areal Tembawang ini adalah bekas kampung yang ditinggalkan karena alasan tertentu. Biasanya perpindahan kampung Dayak atau bedol desa itu disebabkan oleh bencana alam atau wabah penyakit. 

Jika ada beberapa orang meninggal di suatu kampung karena alasan penyakit atau alasan yang kurang jelas maka perpindahan kampung pun dilakukan. Dianggap kampung tersebut sudah tidak lagi diberkahi oleh para leluhur.

Juga terdapat hutan keramat di mana diyakini sebagai tempat istirahat para leluhur atau "penunggu" hutan. Hutan ini sama sekali tidak boleh dirambah. Untuk memasukinya pun harus ada upacara adat tertentu. Jika ada pelanggar larangan tersebut maka dia akan dijatuhkan hukum adat setempat.

Hal yang menarik, umumnya areal hutan keramat itu memiliki biodiversitas hutan yang paling tinggi.

Sumber gambar: habis.manis.com
Sumber gambar: habis.manis.com
Sistem Subsistensi

Prinsip subsistensi atau sesuai dengan kebutuhan ini juga diterapkan dalam membuka lahan berladang. Tidak boleh ada sikap ekploitasi berlebihan terhadap hutan atau sumber dayanya. 

Tujuan berladang adalah untuk ketersediaan pangan atau dalam hal ini beras selama satu tahun sambil menunggu panen tahun berikutnya. Karena spesies padi yang ditanam dan berladang sangat tergantung pada musim kemarau dan hujan maka panen hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun.

Jadi dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup dan hasil panen bukan untuk bisnis ataupun dijual, maka pembukaan lahan pun dilakukan dengan luasan yang secukupnya saja. 

Hal ini juga agar ada tersedia lahan hutan untuk dilakukan rotasi yang cukup agar bawas atau bekas lahan ladang itu cukup waktu untuk memiliki pohon yang cukup besar untuk diladangi kembali. Dengan siklus 6 - 7 tahunan maka diperlukan 6 sampai 7 lahan berladang sebelum kembali lagi ke lahan ladang atau bawas yang pertama.

Prinsip Organik

Dalam berladang tidak digunakan pupuk kimia dan pestisida dan herbisida. Semua dilakukan secara organik.

Untuk pupuk tanaman masyarakat Dayak mengandalkan humus hutan dan tanah atau serasah bakar. Itulah salah satu alasan mengapa ladang dibakar karena selain untuk membersihkan lahan, juga hasil pembakaran dijadikan pupuk tanaman. 

Untuk menghilangkan rumput di sela - sela padi, rumput - rumput itu dicabut. Tidak digunakan racun rumput karena akan juga menjadikan padi dan tanaman lain di ladang itu akan ikut mati.

Untuk menghindari hama dan penyakit, masa berladang harus dilakukan secara serempak sehingga jikapun ada hama berupa tikus, burung pipit atau monyet yang bisa menggangu hasil panenan maka hama itu akan terbagi ke ladang - ladang lainnya, tidak terpusat ke satu ladang.

Juga karena di sekitar ladang masih ada hutan maka para binatang atau hama itu masih punya sumber makanan dari hutan.

Prinsip Ritualitas

Masyarakat Dayak sangat religius dengan aneka ritual dalam kehidupan keseharian mereka, termasuk dalam hal berladang. 

Semua tahap dari awal sampai paska panen penuh dengan ritual. Ritual ini adalah sikap masyarakat Dayak atas penghormatan yang sangat tinggi pada hutan dan sumber dayanya yang dirasakan sebagai rahmat dan berkah dari Sang Pemberi  dan Pencipta yang biasa disebut dengan aneka nama: Akek Penompa (Dayak Pompakng), Jubata ( Dayak Kanayat'n), Abae Penompo (Dayak Hibutn).

Acara ritual itu dimulai sejak mencari lahan untuk berladang. Mereka akan melihat tanda - tanda alam untuk menentukan di mana akan berladang. Tanda tanda itu bisa berupa jenis tanaman atau pohon yang ada di areal itu, suara burung atau binatang lain. 

Sumber gambar: Pontianakpost.com
Sumber gambar: Pontianakpost.com
Mereka percaya bahwa jika arealnya tidak sesuai dengan tanda - tanda itu maka ladang yang akan di atas lahan tersebut tidak menghasilkan panen yang bagus atau bahkan akan gagal.

Setelah lahannya ditemukan, sebelum mulai melakukan kegiatan berladang ada lagi ritual untuk meminta ijin pada Sang Pemberi dan penunggu wilayah itu agar diberikan restu.

Sebelum  panen pun ada upacara lagi agar hasil panennya tetap dijaga.

Setelah selesai panen ada upacara besar sebagai pesta panen yang melibatkan seluruh warga dan juga para tetangga kampung. Pesta syukur itu disebut sebagai Nosu minu (Dayak Pompakng), Naik Dango (Dayak Kanayat'n).

Inti pesta adat itu selain syukur juga adalah memanggil kembali semangat, roh atau jiwa padi agar kembali supaya pada musim tanam berikut kembali memberikan berkahnya pada ladang ynag akan datang.

Prinsip Hukum Adat

Di atas sudah dijelaskan bahwa hukum adat juga menjadi bagian dalam kegiatan dan tahap kegiatan berladang. Fungsi hukum adat agar setiap kegiatan dan acara serta perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan tersebut sungguh sesuai dengan kultur, tradisi dan kepercayaan yang dianut. Jika ada pelanggaran maka hukum adat diberlakukan. 

Dalam hal ini fungsi hukum adat adalah untuk menjaga keseimbangan alam atas (alam para leluhur) dan alam bawah (alam kehidupan). Jika penegakan hukum tidak dilakukan dengan benar maka akan terjadi bencana dan karena terjadi ketidakseimbangan alam.

Ancaman terhadap ke 7 prinsip

Apa yang telah dijelaskan di atas adalah sikap dan situasi ideal yang saat ini telah banyak hilang dan terancam.

Penyebabnya beraneka, ada yang disebabkan ancaman eksternal dan internal.

Ancaman eksternal karena nilai - nilai masyarakat Dayak itu dipengaruhi oleh kultur dan budaya luar yang berbeda.

Tantangan internal karena sikap orang Dayak sendiri yang kurang menghargai dan ketidakmauan untuk melestarikan hutan nya.

Akibat dari kedua hal itu, sikap menghargai dan menghormati hutan menjadi hilang. Hutan hanya dilihat sebagai aset ekonomi tanpa ada lagi nilai religiusitas dan penghargaan terhadapnya.

Saat ini bencana kebakaran hutan, kekeringan dan banjir menjadi bencana yang secara regular datang melanda. Tidak berlebihan jika hal ini terjadi karena "Sang Ibu" tidak lagi dihormati dan dihargai. "Sang Ibu" yang terluka mulai meminta tanggung jawab dan penghormatan yang tidak lagi bisa didapatkan. 

Karena merusak hutan berarti melakukan hal yang durhaka terhadap "Sang Ibu".***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun