Sebenarnya masyarakat Dayak tidak terlalu suka membuka hutan rimba atau hutan primer karena pohon - pohonnya yang besar akan sulit untuk dikerjakan sebagai ladang.
Areal berladang pun akan sangat memperhatikan kontur atau kemiringan lahan. Umumnya areal perladangan dilakukan di lembah atau lahan yang datar.Â
Jadi hutan di atasnya masih ada. Ini berarti setelah habis berladang maka areal tersebut dengan cepat kembali berhutan dengan aneka pohon dan tanaman, karena hutan di atas lahan menjadi sumber bibit yang gampang dibawa angin, burung, binatang atau aliran air yang mengalir dari lahan yang lebih tinggi.
Dalam pembagian tata ruang  ada juga areal Tembawang, yakni kebun aneka buah - buahan milik bersama. Jenis buah - buah nya dari durian, cempedak, manggis, Langsat, mangga hutan, dan aneka buah eksotik Kalimantan. Â
Jika ada beberapa orang meninggal di suatu kampung karena alasan penyakit atau alasan yang kurang jelas maka perpindahan kampung pun dilakukan. Dianggap kampung tersebut sudah tidak lagi diberkahi oleh para leluhur.
Juga terdapat hutan keramat di mana diyakini sebagai tempat istirahat para leluhur atau "penunggu" hutan. Hutan ini sama sekali tidak boleh dirambah. Untuk memasukinya pun harus ada upacara adat tertentu. Jika ada pelanggar larangan tersebut maka dia akan dijatuhkan hukum adat setempat.
Hal yang menarik, umumnya areal hutan keramat itu memiliki biodiversitas hutan yang paling tinggi.
Prinsip subsistensi atau sesuai dengan kebutuhan ini juga diterapkan dalam membuka lahan berladang. Tidak boleh ada sikap ekploitasi berlebihan terhadap hutan atau sumber dayanya.Â
Tujuan berladang adalah untuk ketersediaan pangan atau dalam hal ini beras selama satu tahun sambil menunggu panen tahun berikutnya. Karena spesies padi yang ditanam dan berladang sangat tergantung pada musim kemarau dan hujan maka panen hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun.