Jika Partai Demokrat dan PAN di duga merapat ke koalisi Jokowi, itu bukan lagi rahasia.Â
Memang setelah hitungan resmi dari KPU mengenai hasil Pilpres yang dimenangkan Jokowi, satu persatu partai koalisi Prabowo merapat ke koalisi Jokowi. Partai Demokrat dan PAN juga secara resmi sudah mengakui hasil Pilpres yang diumumkan KPU.
Praktisnya saat ini, hanya Gerindra yang masih berjuang untuk membawa kasus ini ke MK. PKS teman sejalan Gerindra sejak awal pun nampaknya sudah kurang bersuara.
Dalam kondisi ini, jika Gerindra kemudian mengklaim sudah ditawari kursi menteri oleh Jokowi, barulah ini berita yang mengejutkan.
Karena itu berarti, bisa saja di periode berikutnya hampir tidak ada partai oposisi di legislatif.Â
Apakah dampaknya  jika pemerintah tidak punya oposisi di kursi legislatif? Apakah pemerintahan tanpa oposisi bisa efektif?
Sebenarnya kita pernah mengalami dalam periode yang cukup lama pemerintahan tanpa oposisi, yakni pada masa orde baru. Bahkan saat itu sikap oposisi dianggap sebagai sesuatu yang haram.Â
Dengan berkedok pada prinsip "musyawarah untuk mufakat", legislatif di DPR hanya sebagai stempel atau ketok palu dari semua keputusan yang telah diambil oleh Presiden Soeharto pada masa itu.Â
Kita bisa rasakan bahwa situasi tanpa oposisi itu tidak sehat sebagai bangsa, karena tidak ada penyeimbang dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan pemerintahan. Dan memang sudah terbukti bahwa regime Orde baru kemudian dicap sebagai regime otoriter atau diktator.
Namun tentu saja keseimbangan dengan adanya partai oposisi tidak juga otomatis menjadikan negara ini lebih baik atau lebih efektif.
Partai oposisi jika tidak sungguh menjalankan perannya dengan benar, juga tidak akan menyumbangkan banyak pada kualitas pemerintahan.
Maksudnya di sini, kubu oposisi yang benar, bukan sekedar mengkritisi pemerintah, tapi juga memberikan solusi perbaikan.Â
Hal yang kita alami selama ini, ada kecenderungan kubu oposisi lewat tokoh politikus nya hanyalah mengkritisi saja tapi tidak menyumbangkan perbaikan. Bahkan boleh dikatakan sikap mereka lebih bertingkah "nyinyir" daripada memberikan kritik membangun.
Sebaliknya ada juga partai yang sebenarnya adalah bagian dari koalisi pemerintah tapi justru bersikap sebagai partai oposisi dengan mengkritisi kebijakan yang dilakukan Pemerintah.
Sebenarnya sampai saat ini, kita masih belajar untuk sungguh memiliki keseimbangan ideal antara peran kubu Pemerintah dan kubu oposisi.Â
Situasi itu baru menjadi ideal jika kubu oposisi sungguh bisa memberikan keseimbangan dengan kritik membangun yang mereka sampaikan pada pihak eksekutif.
Jadi sebenarnya jika tidak ada perubahan sikap kubu oposisi dalam mengkritisi Pemerintah, maka walaupun ada kubu oposisi, hal itu tidak akan menyumbangkan hal yang signifikan untuk perkembangan pemerintahan kita.
Jadi untuk menjawab pertanyaan di atas, bisa kita katakan, idealnya memang kita harus punya kubu oposisi, namun yang diperlukan adalah oposisi yang benar tahu posisi dan perannya. Demokrasi yang sehat memang butuh kubu oposisi.
Jika tidak, maka ada atau tidak adanya kubu oposisi tidak akan membawa perubahan yang berarti.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H