Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tukang Gorengan Menjadi Teroris, Kok Bisa?

4 Juni 2019   21:24 Diperbarui: 5 Juni 2019   17:19 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Medcom.id

Satu hari sebelum lebaran, kita dikejutkan dengan adanya usaha bom bunuh diri yang diledakkan di sebuah pos polisi Kartasura, Solo.

Pelakunya adalah RA seorang penjual gorengan. 

Sejatinya sebagai seorang penjaja gorengan, keahlian RA adalah membuat adonan yang enak untuk jualannya.

Namun ternyata dia justru ahli sebagai peracik bahan - bahan kimia untuk membuat bom. Di rumahnya ketika digerebek polisi ditemukan detonator dan beberapa bahan kimia untuk membuat bahan peledak.

Tentu kita bertanya - tanya dari mana dia mendapat keahlian untuk meracik dan membuat bom itu.

Di beberapa kasus, para peracik bom ini adalah seorang otodidak. Artinya mereka mendapatkan keahlian untuk mencampur alat peledak ini karena belajar sendiri.

Sumber rumus dan cara membuat bom itu bisa dari berbagai sumber. Bahkan menurut polisi dengan biaya dibawah satu juta rupiah bisa diciptakan bom yang sangat mematikan karena bahan - bahan yang digunakan dapat dibeli bebas di pasaran.

Namun keahlian membuat bom lalu menggunakan bom itu untuk melakukan bom bunuh diri tentu merupakan hal yang lebih rumit. Karena kenekatan seperti itu tentu bukan timbul secara spontan.

Ada proses di mana seseorang sampai pada kesimpulan untuk mengorbankan dirinya demi suatu ideologi atau ajaran yang dia yakini.

Di sinilah peran para perekrut bom hidup itu berperan. Mereka punya metode untuk mencuci otak para "pengantin" ini agar apa yang mereka lakukan seolah menjadi suatu tindakan martir atau kepahlawanan.

Selain peran perekrut, sebenarnya ada alasan secara ilmiah mengapa seseorang bisa bersikap fanatik dan radikal seperti RA. 

Secara teori ada beberapa alasan mengapa seseorang bisa menjadi teroris.

Alsan pertama dan utama mengapa seseorang bisa bersikap radikal adalah rasa benci. Kebencian itu bisa bersifat rasional dan irasional. 

Kebencian rasional misalnya menyangkut ketidakadilan atau penindasan. Karena alasan itu bisa dimengerti secara logis. Namun ada juga kebencian secara irasional. Biasanya kebencian irasional menyangkut perbedaan ras, agama, ideologi dan orientasi seksual. 

Alasan tak masuk akal itu melihat bahwa orang atau kelompok orang lain berbeda dengan dirinya sehingga dirasakan sebagai suatu ancaman.

Alasan lain yang menjadikan seseorang teroris adalah prasangka. Prasangka ini adalah bagian dari struktur psikologis manusia untuk menghadapi sesuatu yang tidak mereka kenal. 

Karena rasa prasangka itu menimbulkan kecemasan, maka untuk menghilangkan kecemasan ini maka individu bersangkutan berusaha menghilangkan sumber prasangka atau musuh tersebut. 

Terorisme juga bisa muncul karena keyakinan bahwa ada bahaya dari luar yang akan menjajah kelompoknya. 

Dalam hal ini mereka merasa bahwa supremasi yang mereka miliki bisa hilang karena serangan dari kelompok yang mereka anggap berbeda. 

Ironis nya, di lain pihak sikap fanatisme teroris juga bisa timbul karena keinginan untuk dicintai. 

Kebutuhan dasar manusia untuk dicintai ini, jika tidak terpenuhi maka bisa menyebabkan seseorang mengindetifikasi dirinya pada kelompok ekstrimis yang dirasa menerima dirinya. 

Hal ini bisa menjelaskan mengapa "kesetiakawanan" para preman dan geng kejahatan bisa sangat kuat.

Selain penyebab psikologis, alasan seseorang untuk bersikap ekstrem juga bisa timbul karena sifat individu, budaya, latar belakang keluarga dan ideologi yang dianutnya. 

Kembali ke kasus RA. Menurut orang yang mengenal dirinya. Tidak ada hal yang terlalu istimewa terhadap pribadinya. Memang ada kecenderungan RA bersikap pendiam dan tertutup.

Kalau dilihat, RA adalah "orang biasa" atau boleh dikatakan "bukan siapa-siapa". Bisa saja situasi inilah yang mendorong dirinya untuk menunjukkan bahwa dia ada dan bisa melakukan hal yang "luar biasa". 

Dia tidak mau dikenal hanya sebagai seorang penjual gorengan. Memang realita nya dengan kejadian ini dirinya menjadi dikenal luas. 

Kemungkinan inferioritas kompleks ini lah yang ditambah dengan keyakinan yang dia anut mendorongnya untuk melakukan hal nekad menjadikan dirinya sebagai bom hidup.

Tentu semua ini adalah dugaan dan analisa saja. Namun berdasarkan alasan dan analisa ini kita bisa melihat bahwa RA - RA lain bisa muncul dari mana saja dan dari kalangan siapa saja. 

Apakah ada cara untuk mencegahnya?

Prasangka berawal dari rumah. Untuk itu, perlu adanya edukasi dari orangtua, guru, dan masyarakat untuk mengajarkan arti keberagaman dan toleransi antarmanusia.

Kenyataannya tak ada gen tertentu yang membuat manusia cenderung untuk membenci atau fanatik terhadap sesuatu. Itu adalah sikap dan perilaku yang dipelajari. Itu sebabnya, kita perlu banyak belajar arti mencintai sesama dan bertoleransi antarumat manusia.

Hanya dengan cara inilah kita bisa mencegah adanya tindakan fanatik dan radikal di masa depan, sehingga tidak muncul lagi RA lain yang berubah dari penjual gorengan menjadi pembuat bom lainnya. ***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun