Bagi yang mengalami jaman Orde Baru, tuntutan keadilan yang diungkapkan oleh putri Soeharto itu adalah persis seperti yang diteriakkan para demonstran yang turun ke jalan untuk menuntut keadilan.
Waktu itu situasi mereka tidak seberuntung Titiek Soeharto saat ini. Untuk para pengkritik pemerintah saat bapaknya berkuasa, banyak yang tidak bisa menikmati pengadilan. Mereka biasanya sudah dibungkam secara kasar atau halus dengan tanpa diadili.
Pemilu waktu itupun hanya seremoni karena semua sudah tahu partai apa yang menang dan siapa Presiden nya sebelum pemilu berlangsung.Â
Banyak di antara mereka yang meringkuk dipenjara tanpa diadili. Tidak terhitung para penentang itu hilang tanpa tahu rimbanya. Ya, mereka dihilangkan secara paksa.Â
Jika tidak ditindak secara paksa, maka ada cara halus yang juga tidak kalah menyengsarakan. Para lawan politik Soeharto pada  saat itu akan dikucilkan dan diasingkan secara sosial dan ekonomi. Mereka tidak dapat menjadi pegawai pemerintah. Hidup mereka dipersulit.
Pada saat Titiek Soeharto menyatakan kritiknya di atas apakah dia menyadari situasi yang tertera di atas pada saat bapaknya berkuasa?
Ya, setelah 21 tahun, trah Soeharto rupanya berharap bahwa orang - orang sudah lupa akan akibat 32 tahun bapaknya berkuasa. Mereka memanfaatkan daya ingat banyak orang di negara ini yang mudah lupa akan sejarah.Â
Trah Soeharto nampak nya mulai kembali. Para pendukungnya yang dulu bersembunyi pun mulai berani menampakkan diri.Â
Apakah mereka berhasil? Mudah - mudahan tidak.Â
Jika benar pada tanggal 21 - 22 Mei nanti mereka turun ke jalan melakukan People power yang disamarkan dengan istilah kedaulatan rakyat, maka seolah para trah Soeharto ini sedang memperingati perjuangan reformasi yang menjatuhkan kuasa keluarga Cendana dengan balas dendam menggunakan  gerakan yang sama. Ini adalah suatu ironi.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H