Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ironi Trah Cendana Memperingati People Power Dengan Turun ke Jalan

17 Mei 2019   22:33 Diperbarui: 17 Mei 2019   22:54 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wartakota.com

Ibarat roda, dunia politik pun terus berputar. Ada saatnya di atas, dan ada saat nya di bawah. Peran yang diambil pun tertukar dan berubah.

Sebelum reformasi 98 keluarga Cendana adalah keluarga elit di negeri ini. Mereka manjadi warga nomor satu dan menikmati aneka previlege atas kuasa yang masih dipegang oleh sang kepala keluarga Soeharto. 

Pastilah berat bagi trah Cendana ketika jaman berubah setelah era reformasi 98. Hampir semua keistimewaan yang mereka nikmati selama 32 tahun menjadi sirna. 

Sejak itu seolah mereka hilang dari kancah politik dan sosial negeri ini. Para pendukung fanatiknya juga satu persatu meninggalkan mereka. Apalagi beberapa anggota keluarga Cendana terkena kasus hukum, termasuk sang Bapak yang harus disita kekayaan yayasannya  karena tersangkut kasus korupsi. 

Setelah 21 tahun mengendap, nampaknya mereka saat ini sudah mulai menampakkan diri. Bahkan mampu mendirikan satu partai politik sebagai kendaraan untuk masuk kembali ke dunia perpolitikan negeri ini. 

Trah Cendana nampaknya mulai percaya diri untuk tampil. 

Bagi yang masih merasakan era Orde baru, rasanya terkadang getir dan lucu mendengar ungkapan yang  mereka ungkapkan saat ini. Seolah ucapan  mereka adalah suara para pahlawan reformasi dan para lawan politiknya pada era Orde Baru masih berkuasa. 

Simak saja apa yang dikatakan oleh Titiek Soeharto yang mengkritisi pemerintah pada pemilu kali ini.

"Kayanya kita ke MK nggak, karena kita pernah pengalaman di 2014, kita ke MK, judulnya belum diperiksa, bukti-buktinya belum diperiksa, sudah diketok yang menang sebelah sana," ucap Titiek setelah menghadiri deklarasi 'gerakan kedaulatan rakyat' di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (17/5/2019).

"Jadi kayanya sekarang kita tidak akan ke MK lagi, jadi kita akan berjuang di jalanan," sambungnya.

Rasanya tidak percaya kata - kata "menuntut keadilan"  ini keluar dari mulut putri Soeharto. 

Bagi yang mengalami jaman Orde Baru, tuntutan keadilan yang diungkapkan oleh putri Soeharto itu adalah persis seperti yang diteriakkan para demonstran yang turun ke jalan untuk menuntut keadilan.

Waktu itu situasi mereka tidak seberuntung Titiek Soeharto saat ini. Untuk para pengkritik pemerintah saat bapaknya berkuasa, banyak yang tidak bisa menikmati pengadilan. Mereka biasanya sudah dibungkam secara kasar atau halus dengan tanpa diadili.

Pemilu waktu itupun hanya seremoni karena semua sudah tahu partai apa yang menang dan siapa Presiden nya sebelum pemilu berlangsung. 

Banyak di antara mereka yang meringkuk dipenjara tanpa diadili. Tidak terhitung para penentang itu hilang tanpa tahu rimbanya. Ya, mereka dihilangkan secara paksa. 

Jika tidak ditindak secara paksa, maka ada cara halus yang juga tidak kalah menyengsarakan. Para lawan politik Soeharto pada  saat itu akan dikucilkan dan diasingkan secara sosial dan ekonomi. Mereka tidak dapat menjadi pegawai pemerintah. Hidup mereka dipersulit.

Pada saat Titiek Soeharto menyatakan kritiknya di atas apakah dia menyadari situasi yang tertera di atas pada saat bapaknya berkuasa?

Ya, setelah 21 tahun, trah Soeharto rupanya berharap bahwa orang - orang sudah lupa akan akibat 32 tahun bapaknya berkuasa. Mereka memanfaatkan daya ingat banyak orang di negara ini yang mudah lupa akan sejarah. 

Trah Soeharto nampak nya mulai kembali. Para pendukungnya yang dulu bersembunyi pun mulai berani menampakkan diri. 

Apakah mereka berhasil? Mudah - mudahan tidak. 

Jika benar pada tanggal 21 - 22 Mei nanti mereka turun ke jalan melakukan People power yang disamarkan dengan istilah kedaulatan rakyat, maka seolah para trah Soeharto ini sedang memperingati perjuangan reformasi yang menjatuhkan kuasa keluarga Cendana dengan balas dendam menggunakan  gerakan yang sama. Ini adalah suatu ironi.***MG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun