Pilpres kali ini memang sangat menarik untuk dikupas dan dianalisa. Berbagai sudut pandang sudah diulas. Terutama menyangkut hubungan pribadi capres dan para pendukung fanatiknya.Â
Apa sih yang membuat orang tertarik atau tidak tertarik dengan calon yang ia pilih?Â
Jawaban rasional yang biasa disampaikan oleh para pengamat adalah: lihatlah program, prestasi dan jejak atau track record nya.Â
Namun rupanya jawaban sederhana itu tidak bisa menjawab kompleksitas perasaan pendukung dengan calon yang dia pilih. Ada alasan - alasan irasional yang rupanya menjadi pertimbangan.
Nampaknya pemilihan ini seringkali seperti mengidolakan bintang film kesayangan atau klub sepakbola favorit.Â
Coba tanya ke mereka, mengapa tertarik pada artis  atau kesebelasan tertentu? Maka para lover dan Tifosi itu akan sulit mengungkapkan hal tersebut. Bila didesak, ujung - ujungnya mereka akan berkata, "ya karena suka, titik".
Pilihan capres juga rupanya tidak luput dari fenomena ini. Alasan logis tidak cukup untuk menjelaskan mengapa seseorang menyukai calon yang satu dan tidak menyukai yang lainnya.
Apakah ada pengaruh Chemistry dalam hal ini?
Sebelum mengulas lebih jauh, kita perlu tahu apa itu Chemistry?
Kata-kata chemistry berasal dari bahasa Inggris. Kata-kata ini juga populer dipakai dalam konteks interaksi dan hubungan antar manusia, dengan pengertian kira-kira begini: kesesuaian secara kimiawi antar dua orang sehingga mereka merasakan kenyamanan dan kecocokan bila berdekatan atau bersama-sama.
Biasanya istilah ini dipakai dalam hubungan persahabatan, pacaran dan relasi suami istri.
Jika seseorang sudah punya chemistry dengan pasangannya, biasanya segala sesuatu dilihat dari sudut yang positif. Kekurangan dan kelemahan pasangan itu tertutupi oleh perasaan senang atau suka.Â
Dalam bahasa anak muda sering diungkapkan, "Kalau cinta sudah melekat, taik kucing serasa coklat". Rasionalitas menjadi hilang.
Melihat fenomena Pilpres yang ada, penulis pikir, jangan - jangan chemistry ini juga menjadi alasan seseorang memilih capres nya.Â
Jika hal ini yang terjadi, memang jangan coba - coba memberikan alasan dan fakta obyektif serta rasional kepada mereka.Â
Walau sang Capres tidak punya program yang jelas, prestasi yang sulit dicari, serta tidak punya track record yang bisa dibanggakan, mereka tetap membela sang Capres.
Mereka seperti orang yang sedang mabuk kepayang, "taik kucing pun serasa coklat".
Tentu fenomena ini sangat disayangkan jika memang terjadi. Karena hal itu juga menunjukkan bahwa pendidikan politik di negara kita masih sangat rendah. Karena pendidikan politik yang baiklah yang membuat orang memilih secara rasional dan obyektif.
Ini tentu menjadi tantangan kita bersama. Karena jika hal ini tetap terjadi, kemewahan demokrasi yang kita dapatkan, dengan setiap suara bisa menentukan baik - buruknya wakil dan pimpinan kita menjadi sia - sia dan tidak berarti.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI