Kunci pertama sebenarnya terletak pada sistem seleksi partai terhadap caleg mereka.Â
Untuk menjadi calon legislatif harus berdasarkan rekam jejak dan sejarah integritas dan prestasi mereka. Namun sudah menjadi rahasia umum, para caleg itu seringkali justru harus membayar agar dapat menjadi calon legislatif.Â
Rekam jejak pun tidak menjadi kriteria utama. Bahkan keinginan KPU untuk mengeliminasi para calon wakil rakyat yang mantan Koruptor justru tidak diperhatikan oleh partai.
Baca juga: Caleg Koruptor Terlindungi Karena KPU Trauma Terhadap MA
Dengan mekanisme perekrutan seperti ini, justru yang mempunyai peluang untuk mencalonkan diri adalah mereka yang dari awal diragukan integritas dan kualitas pribadi mereka. Orang - orang baik yang bermutu justru banyak yang alergi terhadap sistem ini.
Masalah lain yang juga menyumbang praktek buruk ini adalah sistem pengelolaan keuangan partai sendiri.Â
Untuk mengelola partai memang membutuhkan uang. Sumber nya bisa beragam: dari iuran anggota, sumbangan simpatisan dan juga anggaran dari pemerintah.Â
Untuk mendapatkan anggota yang rela membiayai partai tanpa pamrih memang tidak mudah. Terutama di Indonesia, di mana setiap partai hampir tidak punya perbedaan ideologi yang mereka perjuangkan. Hampir semua sama.Â
Dengan kondisi ini, sulit didapat anggota partai politik yang sungguh mau berjuang demi menegakkan ideologi yang ada di partai tersebut.Â
Kembali pada serangan fajar atau politik uang yang menghantui dan mengancam Pemilu kita.
Masyarakat juga harus bertanggung-jawab untuk tidak mau dibayar suara mereka. Harusnya mereka sadar, dengan setiap suara menentukan siapa yang dipilih menjadi wakil mereka untuk memperjuangkan kepentingan mereka, seharusnya masyarakat tidak mau melacurkan suara mereka. Namun kesadaran ini masih sangat rendah.Â