Rasanya baru beberapa hari yang lalu KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan Koruptor, namun KPK kembali melakukan operasi OTT itu lagi.
Nampaknya memang para koruptor punya saraf baja. Walaupun bertubi-tubi KPK melakukan operasi itu, nyali koruptor tidak pernah kendor.
Pernah ada seorang teman mengatakan, di Indonesia ini, KPK menangkap koruptor itu ibarat orang menepuk kerumunan lalat. Asal ditepuk saja, pasti ada lalat yang kena, karena rombongan lalat itu begitu banyak.
Tentu perumpamaan ini membuat kita miris. Apakah memang benar, korupsi sudah mendarah daging dalam birokrasi kita? Apakah usaha keras Pemerintah dan KPK untuk membasmi koruptor itu memang sia-sia? Lalu cara bagaimana cara kita membasmi para tikus pencuri uang rakyat itu?
Kalau kita melihat indeks korupsi yang setiap tahun dirilis, nampaknya ada kemajuan yang cukup signifikan.Â
Untuk tahun 2019 ini indeks korupsi Indonesia naik menjadi 38 poin (tempo.co). Naik tujuh peringkat menjadi urutan ke 89 dari 180 negara. Menjadi urutan keempat di Asean setelah Singapura, Brunei dan Malaysia.
Tentu perbaikan peringkat ini patut dihargai, namun nampaknya tidak cukup signifikan mengurangi parahnya masalah korupsi di negeri ini.
Dari usaha penegakan hukum, nampaknya sudah cukup maksimal. Penggunaan undang - undang secara komprehensif, selain UU korupsi, juga UU Pencucian uang sehingga para koruptor bisa dimiskinkan, juga sudah diterapkan.Â
Namun kenapa para koruptor itu nampaknya sudah putus urat takut mereka?Â
Walau kita tidak suka dan menganggap hal ini sebagai pelecehan bangsa, namun harus diakui budaya korupsi memang sudah mengakar kuat.Â
Sudah terlalu lama korupsi dianggap sebagai hal lumrah dan biasa. Bahkan jangan - jangan sampai saat ini masih banyak para pejabat dan birokrat menganggap uang rakyat itu adalah hak mereka.Â
Dalam kondisi budaya korupsi yang sudah sedemikian parah ini tentu kita perlu melihat bagaimana cara secara fundamental untuk menanggulangi ini?
Mungkin kita perlu belajar dari negara-negara yang dianggap paling bersih dari korupsi. Untuk tahun 2019 ada dua negara yang menempati peringkat teratas, yakni negara Selandia Baru dan Denmark (tribunnews.com).
Apa sih yang membuat Denmark dan Selandia Baru istimewa dan menjadi peringkat terbaik dalam indeks Korupsi?
Untuk menjawab ini saya kutip sebagian dari buku yang ditulis oleh Komarudin Hidayat.
Dalam tulisannya 'Mengapa Denmark Menjadi Salah Satu Negara Termakmur Dunia?', Komarudin Hidayat menulis:
"Sebagai seorang pendidik, saya berpikir bahwa mungkin yang menjadi penyebabnya adalah pendidikan mereka yang sangat baik. Namun, ternyata dugaan saya keliru. Orang-orang Denmark justru percaya bahwa penyebab dari negaranya menjadi negara termakmur, ternyaman, dan teraman adalah karena masyarakatnya jujur," kata Komaruddin dalam bukunya.
Orang Denmark percaya bahwa semua kebaikan yang ada di negaranya berawal dari kejujuran. Pada saat seorang jujur, maka semua fasilitas umum untuk rakyat akan terbangun dengan baik oleh pemerintah, sebagaimana mestinya sesuai standar mutu yang telah ditetapkan di segala bidang mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan lain-lain.
Masyarakat Denmark percaya bahwa kejujuran bisa melahirkan segalanya. Mereka percaya bahwa setiap manusia itu pintar, dengan kejujuran maka setiap kepintaran manusia akan menjadi manfaat bagi sesama dan seluruh negeri.
Mereka yakin jika setiap aparat pemerintah jujur, mulai dari pejabat, menteri, polisi, dan rakyatnya juga jujur, maka sebuah negara bisa menjadi makmur tanpa perlu menjadi yang paling pintar di bidang pendidikan.
"Ternyata memang benar, Denmark masuk dalam salah satu negara dengan tingkat korupsi nyaris nol, seperti juga di Finlandia dan Selandia Baru," lanjut Komaruddin.
Memang inilah kuncinya. Pendidikan kejujuran. Nampaknya sederhana namun dengan adanya sikap jujur lah maka kita bisa menjadi negara bebas korupsi dan makmur.
Memang, penegakan hukum dan memiskinkan koruptor tetap perlu dilakukan. Tapi menyebarkan dan menggalakkan sikap jujur adalah kunci utama yang bisa membongkar akar budaya korupsi di negeri tercinta ini.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H