Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menjadi Presiden Itu Berat, Biar Jokowi Saja

21 Maret 2019   22:00 Diperbarui: 22 Maret 2019   06:06 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: tribun.com

Pada Pilpres yang lalu penulis merasa suatu fenomena baru dalam kontestasi pemilihan presiden. Walaupun itu bukan pertama kali pemilihan langsung dalam pesta demokrasi, namun sangat terasa antusiasme para pemilih untuk menuju kotak suara suara pada saat pencoblosan.

Salah satu yang menjadi magnet yang menyedot perhatian adalah munculnya satu tokoh baru. Dia adalah Joko Widodo atau lebih akrab dipanggil Jokowi. Nama yang konon diberikan oleh partner bisnis meubel nya dari luar negri.

Tokoh ini memang bagai meteor yang muncul begitu cepat. Dari seorang yang sama sekali tidak dikenal, lalu tiba - tiba melesat di puncak jabatan negeri ini, kursi kepresidenan.

Siapa menyangka, seorang pebisnis meubel, yang konon katanya agak dipaksa untuk mencalonkan diri sebagai walikota Solo, lalu didapuk menuju kursi panas sebagai Gubernur  DKI Jakarta, dan kemudian didorong lagi untuk bertarung mengisi jabatan tertinggi di negeri ini. Seorang Presiden.

Untuk banyak orang, itulah contoh sempurna dari takdir "garis tangan", namun mungkin juga untuk lawan politiknya saat ini, hal itu adalah suatu "kecelakaan".

Entah apapun pendapat orang mengenai Jokowi, namun harus diakui bahwa dia adalah pribadi yang unik. Jokowi membawa angin segar dan konteks baru dalam konsep seorang Presiden.

Sebelumnya, setiap presiden atau calon presiden haruslah punya garis keturunan darah biru politik atau sekurang-kurangnya sudah dikenal luas sebagai tokoh politik atau pengusaha nasional. 

Juga ada semacam pakem, bahwa kalau mau menang haruslah bertampang ganteng.

Joko Widodo justru tampil dengan segala yang berbeda, bahkan boleh dikatakan bertentangan.

Berasal dari keluarga sederhana dan biasa - biasa saja.

Bukan tokoh politik, bahkan tidak punya jabatan struktural di partai yang mendukung nya. 

Tampang yang pas - pasan, bahkan ada yang mengatakan, dan diakui sendiri olehnya, wajah kampungan. 

Pakaian kampanye yang dipakai dinilai nyeleneh karena biasanya pakaian nasional nan anggun, tapi dia memilih baju lengan panjang kotak - kotak merah hitam yang kebetulan dia dapat di pasar rakyat.

Cara kampanye yang unik, keluar masuk pasar dan kampung yang kemudian trend disebut blusukan.

Semula, banyak yang ragu dan mencibir, namun kemudian terbukti Jokowi berhasil merebut sebagian besar hati rakyat Indonesia sehingga dia berhasil menjadi Presiden.

Terus terang, saat itu penulis memilih Jokowi lebih karena sudah bosan dengan tokoh - tokoh lama. Hanya sekedar supaya ada yang berbeda. 

Progam kerjanya memang menarik, namun saat itu ada juga keraguan apakah dia bisa mewujudkan nya. Maklum sudah seringkali tertipu dan kecewa oleh janji - janji politik sebelumnya.

Walaupun sudah terbukti beberapa hasil kerjanya saat menjadi walikota di Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Tapi untuk Indonesia? Tunggu dulu.

Hal yang paling mencemaskan adalah, apakah dia bisa menaklukkan sistem politik yang ada. Sudah banyak terbukti, walau seseorang itu baik, tapi begitu masuk di pemerintahan, menjadi terjebak oleh sistem yang ada.

Apalagi pada saat awal pemerintahannya sebagai presiden, dia tidak didukung oleh mayoritas partai saat itu. Bahkan parlemen dikuasai oleh partai dan lawan politik nya. 

Partai utama yang mendukung nya pun, saat awal seperti tidak berada di belakangnya. Dia bukan tokoh partai. Seperti ada rasa iri bahwa dialah yang dipercaya untuk dicalonkan, bukan tokoh senior dan sudah berjasa banyak untuk partai. Pada saat itu, seringkali yang mengritiknya justru teman separtainya. Dia seolah berjuang seorang diri.

Namun, bakat alami nampaknya dipunyai Jokowi. Partai dan parlemen yang awalnya menentang dan berusaha menjegalnya satu persatu dia taklukkan dan menjadi pendukung nya. 

Suara dan fraksi yang ada DPR pun akhirnya bisa dia kuasai. Dalam pilpres sekarang, koalisi pendukung nya, yang dalam Pilpres sebelumnya adalah koalisi kurus, kini menjadi koalisi gemuk.

Langkah dan strategi yang yang digunakan Jokowi seringkali membingungkan lawan politiknya, karena kadangkala di luar pakem politik yang ada. Bak pemain catur yang handal, bidak - bidak catur politik dia mainkan dengan piawai.

Partai utama pendukungnya yang pada awal memaksa dirinya untuk menjadi "petugas partai" pada akhirnya harus mengakui, partai lah  yang membutuhkan Jokowi dan bukan sebaliknya.

Penulis pun pada awal pemerintahannya seringkali mempertanyakan langkah dan kebijakan yang dia ambil. Jejaknya ada di Kompasiana ini.

Namun lama kelamaan semakin jelas, Jokowi adalah sungguh pekerja keras. Pengalaman masa lalunya sebagai pengusaha nampaknya membuat nya tahu apa yang perlu diperbaiki dalam sistem pembangunan di negara ini. 

Keterpihakannya pun jelas, dia melakukan suatu pendekatan yang sungguh berbeda dari para presiden sebelumnya. 

Jokowi memprioritaskan pembangunan di luar Jawa dan di wilayah perbatasan. Walaupun ini bukan tanpa resiko, karena kalau dia mau didukung secara politik, Jawa adalah lumbung suara pemilih terbanyak. Dan itupun disadari penuh oleh Jokowi. Tapi dia secara berani mengambil resiko tersebut.

Janji Nawacitanya pun berusaha dia penuhi, terutama dengan pembangunan infrastruktur yang memang diperlukan sebagai prakondisi untuk mencapai kemakmuran negara ini. Dengan gencar Jokowi membangun jalan, bendungan, pelabuhan dan bandara. 

Keterpihakannya pada wong cilik pun dia tunjukkan dengan meluncurkan program kesehatan lewat BPJS, dan kartu saktinya: kartu sehat, kartu pintar, modal usaha untuk para ibu Mekar untuk UMKM. 

Dana yang sangat besar dia kucurkan ke desa, untuk membangun dan mensejahterakan mereka yang selama ini hanya menikmati remah - remah pembangunan.

Langkah dan kebijakan yang terkadang terlihat nekad dilakoninya. Hal - hal yang sebelumnya dianggap tak mungkin dilakukan dan  bahkan tabu karena bisa mendatangkan resiko politik dia kerjakan. 

Dengan berani dia membubarkan Petral, dengan nekad dia mencabut subsidi BBM, dan dengan nyali besar dia merebut saham Freeport.

Memang, belum semua janjinya terpenuhi. Dan jika kita jujur, memang tidak mungkin semua janjinya itu akan dia selesai kan seratus persen. 

Banyak faktor yang menyebabkan nya. Halangan yang  harus diakui sulit diselesaikan dengan cepat dan terkadang memang diluar kemampuan yang ada saat ini. 

Namun usaha keras Jokowi untuk melaksanakan janjinya itu, jika dilihat secara obyektif dan rasional selayaknya patut diacungi jempol.

Dengan apa yang telah dia capai dalam waktu yang relatif singkat dan usaha keras yang telah Jokowi tunjukkan,  tidak bisa dikatakan dia telah mengingkari janji, apalagi dituduh secara vulgar sebagai seorang pembohong.

Negara ini adalah negara besar. Banyak persoalan yang harus dibenahi dan diselesaikan. 

Dibutuhkan seorang pemimpin yang bukan hanya pintar, tapi juga berani mengambil keputusan. 

Dalam kondisi ini, sangat beresiko jika diserahkan pada orang yang hanya bisa berjanji tanpa bukti. Apalagi pada tokoh yang jelas mau merebut kuasa dengan menghalalkan segala cara. 

Memang, jadi Presiden itu berat, biar Jokowi saja.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun