Nampaknya reaksi inilah yang membuat punggawa Kompas terpaksa ambil peran untuk menjelaskan.
Sebenarnya, dengan reputasi Kompas yang selama ini cukup independen dan non partisan, secara umum publik tidak meragukan kredibilitas Kompas.Â
Apalagi bukan kali ini media Nasional ini melakukan survei elektabilitas. Hasil yang sudah mereka rilis pun terbukti bisa dipercaya dan sesuai dengan fakta.
Tapi saat ini memang sangat unik. Semua pihak dalam situasi tegang dan saling berhadapan yang tidak pernah dialami sebelumnya.
Hal itu ditambah adanya kesan kuat, bahwa ada kelompok yang sudah pada sikap harus menang walau apapun yang terjadi dan dengan cara apapun.Â
Dalam situasi seperti ini hasil survei cenderung tidak ditempatkan pada posisi semestinya.Â
Sebenarnya survei tetap prediksi. Bukan hasil sebenarnya. Dengan metode ilmiah yang obyektif, memang hasil prediksi itu bisa dipertanggung jawabkan bahwa akan mendekati realita.
Fungsi survei seharusnya dipakai untuk mengevaluasi sejauh mana usaha dari cara yang dilakukan apakah efektif atau tidak untuk mendulang suara.Â
Pada titik tertentu, jika hasil secara umum, dengan jarak yang cukup jauh, menunjukkan bahwasanya satu pihak lebih unggul. Secara rasional dan elegan pihak yang kalah tidak harus memprovokasi. Sebaliknya yang menang tidak jumawa.
Ini adalah proses demokrasi untuk membangun bangsa ini. Pihak yang kalah atau menang setelah ini, tetap harus hidup bersama. Sikap saling menghargai dan sportif tentu hendaknya menjadi pegangan bersama. Seharusnya tidak ada yang merasa kalah dan disudutkan.
Jika kacamata dan sikap ini yang kita semua hayati, maka hasil survei Kompas, seperti halnya survei - survei lainnya, tentu dapat kita sikapi secara proporsional.Â