KPU memang serba salah. Awalnya KPU memutuskan suatu aturan yang sangat progresif dan menyudutkan koruptor. Mantan koruptor tidak boleh mencalonkan diri, tegas KPU. Keputusan yang menuai apreasiasi dari para aktivis antikorupsi.Â
Namun keputusan ini juga menuai badai. Bawaslu lah yang pertama bereaksi bahwa KPU dianggap melebihi sewenang mereka.Â
Memang dalam peraturan KPU tercantum bahwa, Â mantan koruptor boleh mencalonkan diri setelah periode tertentu masa hukuman mereka dan harus mengumumkan sebagai narapidana mantan Koruptor.
Bawaslu pun dapat dukungan dari Menkumham yang menyatakan bahwa KPU tidak boleh membatasi hak politik seseorang.Â
Walaupun dapat tantangan, awalnya KPU tetap bersikeras bahwa mereka berhak menafsirkan peraturan KPU, dan mantan koruptor dilarang mencalonkan diri.
Para mantan Koruptor pun tidak mau menyerah. Mereka membawa masalah itu ke MA, dan MA pun memenangkan mereka.
Pada tahap ini KPU tidak bisa berkutik. Merekapun mengubah peraturan KPU dan para mantan koruptor pun bisa berlenggang mencalonkan diri lagi.Â
KPU kalah, mereka lalu hanya bisa mencantumkan nama para mantan Koruptor di situs mereka yang lalu dikutip oleh media.Â
Jika melihat proses ini sebenarnya kita bisa katakan bahwa KPU sudah cukup berjuang, namun mereka tidak didukung MA dan para pihak yang berwenang lainnya.Â
Nampaknya pengalaman ini membuat KPU trauma. Mereka hanya mencantumkan nama para caleg mantan koruptor itu di situs mereka. Usul untuk mencantumkan juga di surat suara dan TPS ditolak KPU. Untuk surat suara, alasannya surat suara sudah dicetak, dan di TPS, KPU takut dituduh mem-blacklist.
Tentu bukan sikap seperti ini yang kita harapkan. Kita ingin KPU tetap konsisten dengan semangat awalnya, menolak caleg mantan Koruptor. Jangan karena pernah  dikalahkan MA lalu KPU menjadi trauma.Â