Ratna Sarumpaet adalah seorang Aktivis. Jejak keberanian nya cukup dalam terpatri dalam sejarah pergerakan di negeri ini.Â
Aslinya dia adalah seorang seniman. Cukup berbakat dan berprestasi. Namun kejadian Marsinah membuat nya terjun ke politik praktis. Mulai dari Orde Baru semua regime penguasa di negeri ini dia lawan. Kecuali jaman pemerintahan Megawati. Dia sedikit menahan diri. Sebagai Aktivis HAM dan demokrasi Ratna pernah mendapat penghargaan Internasional.
Sejarah Aktivis Ratna
Sebagai seorang  aktivis  Ratna  bukanlah anak kemarin sore.Â
Menurut catatan yang ada di Wikipedia, setelah lelah menjadi objek intimidasi aparat pada jaman Orde Baru, pada akhir 1997 Ratna memutuskan melakukan perlawanan. Ia menghentikan sementara kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan organisasi-organisasi pro-demokrasi di kediamannya, lalu membentuknya aliansi bernama Siaga.Â
Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat.Â
Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar sebuah Sidang Rakyat "People Summit" di Ancol.Â
Pertemuan ini kemudian dikepung oleh aparat dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan banyak tuduhan, salah satunya makar.Â
Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, Gerakan Mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak.Â
LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar "Dialog Nasional untuk Demokrasi" di Bali Room, Hotel Indonesia.
Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan cetak biru Pengelolaan Negara RI.Â
Cetak biru itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu.Â
Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerja sama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor.Â
Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor seJakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing, November 1998 Ratna akhirnya diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Prancis dan Amnesti internasional mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah Film Dokumenter (52 menit) berjudul "The Last Prisoner of Soeharto". Pada peringatan 50 tahun Hari HAM sedunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman.
Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk.Â
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh.Â
Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai dalang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.Â
Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998,  Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Jose Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengkritik keras negara-negara besar seperti Amerika serikat, Jerman dan Inggris, Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima "The Female Special Award for Human Rights" dari The Asian Foundation of Human Rights.Â
Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama "Alia: Luka Serambi Mekah".
Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat.Â
Ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan.
Pada masa Presiden Megawati, Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan.Â
Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh. Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana.Â
Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), Ratna secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain. Banjir bandang yang melanda Jakarta 2001, mencatat RSCC sebagai posko terbesar dan terlama mengurusi korban, hingga ke wilayah Tangerang dan Bekasi.
Ratna adalah aktivis lapangan yang konsistensi dan kepekaannya sulit disangkal. Dia turun langsung menyapa dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkannya.
Mendengar kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon, sebuah perusaan pulp, menyusahkan saudara-saudaranya di Porsea, ia terbang ke Porsea, Tapanuli Utara. Ia tinggal disana memberi mereka kekuatan.Â
Ia membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea membuat Kepolisian setempat gusar dan memintanya meninggalkan Porsea dengan alasan "Ratna bukan putera daerah".
Ketika bencana tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan.Â
Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana.Â
Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan "Tsunami Award".
Transformasi Perjuangan yang Keliru?
Menyimak begitu panjang dan beraneka nya perjalanan aktivis Ratna, kita jadi bertanya, mengapa dia bisa tersandung kasus yang saat ini sedang ia  hadapi. Apakah Ratna memang diperalat dan terperangkap dalam skenario yang membuat nya tidak bisa berkutik?
Memang ia sudah mengakui kesalahannya nya. Namun pengakuan itu sudah terlambat. Lontaran fitnah dalam bentuk hoax sudah terlanjur dia tembakan. Ibarat anak panah yang sudah terlepas dari busurnya, tidak bisa ditarik kembali.
Seharusnya ketajaman dan kekritisan seorang aktivis yang sudah cukup lama berkiprah bisa mencegahnya untuk melakukan hal yang tergolong konyol itu.Â
Ironisnya, begitu terungkap kebohongan nya itu, tak seorang pun yang mau membelanya, termasuk mereka yang coba menggunakan kebohongan itu untuk kepentingan politik mereka. Ratna sendirian.
Mendekam di penjara memang bukan pengalaman pertama bagi Ratna. Namun pengalaman kali ini pasti terasa sangat menyakitkan. Ketika jaman Orde Baru dia mendekam di Pondok Bambu, Ratna menderita sebagai pahlawan. Namun kini, dia terkurung di tempat yang sama dengan predikat yang berbeda.Â
Tidak ada yang gagah perkasa ingin mengeluarkannya seperti pada masa Soeharto dulu. Kini, para mantan sekutunya pun tak sudi menjenguknya.
Memang Ratna masih coba tegar untuk mencoba meyakinkan dirinya bahwa perlawanan dan pahlawan memang harus siap menderita. Namun, dalam situasi sekarang ini mungkin lebih tepat ia merenung, apakah transformasi Perjuangan nya sekarang ini tidak keliru? Apakah dia tidak telah salah memilih kawan seiring sejalan?.
Jika Ratna sudah menjawab pertanyaan ini dengan tepat, moga dalam sidangnya  ini dia berani mengungkapkan patgulipat yang telah menjebaknya.Â
Hanya dengan demikianlah Ratna bisa meneruskan garis terputus sejarah garis perjuangan aktivisnya yang sebenarnya sudah cukup membanggakan***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H