Penulis menggemari film Hollywood. Terutama film action nya.
Alur cerita laga Film Hollywood sangat sederhana. Ada orang baik, ada orang jahat. Di awal film orang baik akan dikerjain, dan nampaknya mustahil untuk menang. Orang jahat jumawa dan seolah tidak terkalahkan. Di akhir film plotnya selalu sama, orang jahat dikalahkan orang baik.
Namun, satu hal yang selalu menarik  untuk penulis bahwa di akhir cerita terselip pesan. Biasanya pesan itu keluar dari mulut sang tokoh jahat yang hampir mati.Â
Pesannya kira - kira begini, "Kamu pikir kamu sudah menang? Tidak. Memang saya menghilang, tapi kejahatan itu abadi. Akan ada tokoh lain yang menggantikan peran saya...".Â
Makanya dalam film Hollywood banyak sekali sekuel film. Dengan benang merah pesan sang aktor jahat tadi akan tercipta serial film berikutnya. Orang baik tetap sama, dengan melawan tokoh jahat yang berbeda.
Hollywood dan Politik
Dalam arti tertentu, kancah dan pertarungan politik memiliki alur cerita dan karakter tokoh yang hampir sama.Â
Politik dalam arti sebenarnya adalah hal yang netral. Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.Â
Bahkan Politik secara hakiki mempunyai tujuan suci, yang oleh Aristoteles, seorang filsuf Yunani, dikatakan untuk mewujudkan Bonum Comune atau kebaikan bersama.
Namun penerapan dan realitanya berbeda. Tujuan baik dari politik kadang menjadi terbalik. Perebutan kekuasaan bukannya untuk kepentingan bersama. Kekuasaan yang didapat dari proses politik digunakan untuk sekedar merebut tahta dan harta. Bahkan sering terjadi  pertikaian politik menyebabkan perang, kemiskinan dan sengsara.Â
Di sinilah panggung politik mempunyai kesamaan dengan layar lebar film Hollywood. Bagai panggung cerita, masing - masing mempunyai peran dalam alur cerita. Ada tokoh utama, figuran, tokoh baik dan sang bintang antagonis atau penjahat.Â
Seperti skenario film Hollywood, sang tokoh baik pun tidak senantiasa menang, bahkan seringkali dibully, dihina dan dipojokkan. Pemeran antagonis justru kadang - kadang berada di atas angin dan seperti tidak terkalahkan.
Biasanya dalam film Hollywood juga sang penjahat akan berkata pada saat tokoh baik yang sedang terpojok, "Kamu tahu, mengapa orang jahat seperti saya bisa menang? Kamu orang baik selalu tunduk pada hukum dan punya hati nurani, sedangkan hati nurani saya sudah mati sehingga saya tega melakukan apa saja."
Ya, dalam hal politik pun demikian. Seringkali politikus yang sungguh mau memperjuangkan kebaikan dikalahkan oleh politikus kotor dan busuk justru karena mereka menggunakan segala cara untuk mendulang suara. Sebut saja misalnya: politik uang, fitnah, berita bohong atau hoax, janji palsu, kampanye hitam.
Bagai film, kita yang menyaksikan juga seperti diaduk - aduk rasa : jengkel, marah jika jagoan kita kalah dan tertawa gembira pada saat sang tokoh berada di atas angin.
Apakah semua orang mendukung tokoh baik? Tidak juga. Tetap ada mereka yang mengidolakan sang penjahat dan tokoh antagonis. Mengapa? Ini memang terkadang di luar logika.
Hollywood dan Pilpres
Saat ini sedang ada ada perhelatan politik besar di Indonesia yakni Pemilu dan Pilpres. Sebagai peristiwa politik tentu persamaan antara film Hollywood dan politik di atas bisa juga diterapkan.Â
Masing - masing kita pasti bisa menilai masing - peran dalam panggung Pemilu dan Pilpres itu. Siapa yang berperan sebagai tokoh baik, siapa sang penjahat dan hanya sekedar figuran.
Setiap orang juga pasti sudah punya tokoh idola, entah tokoh baik atau bintang antagonis atau pemeran sang jahat.
Memang tidak ada yang memaksa kita untuk berada di pihak mana. Tetapi, kalau kita kembali pada arti hakiki dari politik yakni untuk mencapai Bonum Comune atau kebaikan dan kesejahteraan, tentu kita memihak dan mendukung secara obyektif dengan logika dan hati nurani. Bukan sekedar kepentingan egoisme, sesaat dan sempit.Â
Pemimpin yang kita cari adalah pemimpin bangsa yang peduli pada kepentingan umum dan masyarakat kecil. Dan semua itu pasti nampak pada jejak laku dan sejarah hidupnya. Kita bukan memilih orator ulung yang hanya membuat janji tanpa bukti. Apalagi jika jejaknya jelas menunjukkan jejak kelam dan kekerasan.
Bagai sebuah film, episode Pemilu dan Pilpres kini memasuki babak terakhir. Apakah bak film Hollywood sang tokoh baik akan tampil dan memenangkan pertarungan, suatu happy Ending?Â
Setiap diri kitalah yang menentukannya. Satu suara satu harapan, atau satu suara satu malapetaka dan kehancuran.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI