Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bahaya Survei Elektabilitas Internal

19 Februari 2019   17:55 Diperbarui: 20 Februari 2019   07:59 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya survey elektabilitas adalah kegiatan ilmiah yang obyektif. Tujuan kegiatan ini bisa bermanfaat, baik bagi publik maupun sang kontestan. Untuk publik, hasil survey bisa menjadi patokan prediksi dan sarana mengawal proses supaya tetap demokratis dan fair.  

Sedangkan bagi kontestan tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana dukungan yang didapat sebagai bagian dari bahan mempertajam strategi pemenangan.  

Sebagai suatu kegiatan ilmiah, tentu harus memenuhi beberapa syarat sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Metode, pemilihan sampel dan para ahli yang berpengalaman untuk menghitung hasil secara benar adalah syarat mutlak. Syarat-syarat ini sangat penting sehingga mengabaikan salah satu, akan mengakibatkan hasil yang keliru. 

Survey politik di Indonesia sebenarnya belum terlalu lama diterapkan. Menjelang Soeharto lengser, barulah jajak-jajak pendapat politik semiprofesional terselenggara di Indonesia. Lembaga yang boleh dianggap sebagai pelopor adalah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Sosial dan Ekonomi (LP3ES). Lembaga penelitian ini memang tidak asing dengan metode-metode pengambilan sampel berbasis hitung-hitungan. 

Pada "pemilihan umum" terakhir Orde Baru, 1997, misalnya, mereka telah mengadakan survei hitung cepat (quick count) untuk kawasan Jakarta. Kemudian, dalam suasana politik yang telah membaik di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, LP3ES juga menyelenggarakan survei atas pemilihan legislatif 1999. 

Dari sinilah kemudian survey politik menjadi lebih dikenal. Walau pada awalnya para politikus masih memandang sebelah mata, bahkan mencurigai survey ini sebagai alat untuk menjatuhkan politikus tertentu.  Namun karena hasil prediksi ini cukup akurat sebagai patokan hasil sebenarnya, maka mereka pun mulai tertarik dan bahkan memanfaatkannya.

Dari awal kegiatan survey politik ini memang bagai pedang bermata dua. Satu sisi bisa menjadi patokan supaya tidak terjadi kecurangan karena hasilnya sudah diprediksi sebelumnya, tapi di sisi lain bisa dimanipulasi menjadi alat untuk menggiring opini dan pilihan publik. 

Kegiatan yang sebelumnya adalah kegiatan akademis ini pun berubah menjadi ajang bisnis.  Mulai bermunculanlah lembaga-lembaga survey yang menyediakan diri, bukan hanya untuk melayani kepentingan publik tapi juga untuk meraup keuntungan bisnis dari ajang politik ini. Peran mereka seringkali menjadi bagian dari strategi pemenangan partai atau politikus. 

Dengan situasi ini kita sendiri bisa menyaksikan beberapa tragedi dan manipulasi yang bisa dikatakan mencemari proses obyektifitas dari kegiatan akademis ini. 

Akhir-akhir ini, muncul lagi suatu fenomena "survey internal". Argumen yang dibangun dengan adanya "survey internal" ini adalah lebih bisa dipercaya karena dilakukan sendiri. Namun justru di sinilah hal tersebut sangat perlu dikritisi. 

Kalau sebelumnya survey politik masih punya unsur untuk melayani publik, maka survey internal ini sepenuhnya untuk melayani partai atau politikus. Unsur subyektifitas menjadi sangat kental sehingga obyektifitas dari survey ini pun sangat diragukan dan cenderung menjadi klaim.

Bahkan menurut penulis maraknya survey internal yang tidak pernah secara publik diumumkan metode dan cara perhitungannya ini bisa berbahaya. Mengapa? Karena hasil survey internal yang cenderung memenangkan diri sendirinya lah yang paling benar, sementara survey lain dianggap keliru. Obyektifitas yang seharusnya menjadi roh dari kegiatan ini pun menjadi sirna. 

Khusus untuk situasi Pilpres kali ini, bahaya itu menjadi berlipatganda karena dengan hanya diikuti dua kontestan, di mana para pendukung masing-masing mempunyai fanatisme tinggi, maka bisa terjadi dengan berpegang pada hasil survey internal masing-masing maka tidak ada yang mau mengakui kalah. Tuduhan adanya kecurangan di pihak lain pasti akan terjadi.  Tentu saja hal ini bisa menimbulkan bentrokan fisik. 

Kekhawatiran ini cukup beralasan karena sudah ada indikasi bahwa ada kontestan yang dari awal tidak mau mengakui hasil survey lembaga-lembaga lain, walaupun lembaga-lembaga tersebut sudah terbukti cukup kredibel.  

Ditambah lagi, hasilnya yang seakan sudah direkayasa sehingga setiap mengumumkan hasil survey internal hasilnya secara konstan dengan presentasi kenaikan yang melonjak tajam. Seolah-olah hasil akhirnya sudah diarahkan untuk menang dan disiapkan jika kalah maka mereka pasti dicurangi.

Tentu penulis tetap berharap jangan sampai hal ini terjadi. Moga para politikus masih punya nurani untuk melihat bahwa peristiwa Pemilu ini adalah hanyalah bagian dari alat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Siapapun yang menang harus didukung, dan yang kalah tidak menjadi mutung. ***MG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun