Bahkan menurut penulis maraknya survey internal yang tidak pernah secara publik diumumkan metode dan cara perhitungannya ini bisa berbahaya. Mengapa? Karena hasil survey internal yang cenderung memenangkan diri sendirinya lah yang paling benar, sementara survey lain dianggap keliru. Obyektifitas yang seharusnya menjadi roh dari kegiatan ini pun menjadi sirna.Â
Khusus untuk situasi Pilpres kali ini, bahaya itu menjadi berlipatganda karena dengan hanya diikuti dua kontestan, di mana para pendukung masing-masing mempunyai fanatisme tinggi, maka bisa terjadi dengan berpegang pada hasil survey internal masing-masing maka tidak ada yang mau mengakui kalah. Tuduhan adanya kecurangan di pihak lain pasti akan terjadi. Â Tentu saja hal ini bisa menimbulkan bentrokan fisik.Â
Kekhawatiran ini cukup beralasan karena sudah ada indikasi bahwa ada kontestan yang dari awal tidak mau mengakui hasil survey lembaga-lembaga lain, walaupun lembaga-lembaga tersebut sudah terbukti cukup kredibel. Â
Ditambah lagi, hasilnya yang seakan sudah direkayasa sehingga setiap mengumumkan hasil survey internal hasilnya secara konstan dengan presentasi kenaikan yang melonjak tajam. Seolah-olah hasil akhirnya sudah diarahkan untuk menang dan disiapkan jika kalah maka mereka pasti dicurangi.
Tentu penulis tetap berharap jangan sampai hal ini terjadi. Moga para politikus masih punya nurani untuk melihat bahwa peristiwa Pemilu ini adalah hanyalah bagian dari alat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Siapapun yang menang harus didukung, dan yang kalah tidak menjadi mutung. ***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H