Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Konsultan - Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Presiden Neoliberalisme?

17 Juni 2015   11:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:40 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendukung antiglobalisasi adalah pihak yang paling lantang menentang neoliberalisme, terutama sekali dalam implementasi "pembebasan arus modal" akan tetapi tidak dalam hal adanya pembebasan arus tenaga kerja. Salah satu pendapat mereka, kebijakan neoliberal hanya mendorong sebuah "perlombaan menuju dasar" dalam arus modal menuju titik terendah untuk standar lingkungan dan buruh.

Subsidi ala Jokowi

Nah, dengan melihat pengertian dan kritik yang ada, apakah pemerintahan Jokowi sudah bisa dikategorikan sebagai Neoliberalisme?.

Menurut saya jika hanya berdasarkan kebijakan menghapus subsidi dari harga premium rasanya tidak terlalu tepat. Toh juga sebenarnya Jokowi tidak menyerahkan sepenuhnya harga minyak pada harga pasar. Untuk solar yang memang paling banyak dibutuhkan industri subsidi tetap diberikan secara terbatas. Maksud terbatas di sini adalah bukannya dengan memberikan subsidi berapapun kenaikan  dari bahan bakar tersebut berdasarkan harga dasar yang sudah ditetapkan, tapi sudah dipatok prosentasi subsidi yang akan diberikan dari kenaikan harga perliternya. Juga sebenarnya pemerintah masih memberikan subsidi pada sumber energi lain seperti gas, listrik dan minyak tanah.  

Alasan mengapa subsidi diberikan secara terbatas agar pemerintah tidak tersandera oleh harga minyak yang memang sangat sering naik turun secara drastis. Karena jika tidak, maka kita akan kembali mengalami krisis keterbatasan fiskal yang membahayakan ekomi secara menyeluruh.

Dalam hal ini kita juga tidak dapat menutup mata betapa subsidi energi,  ini mengahabiskan fiskal pertahun sampai Rp 350,3 trilyun. Dari jumlah 350,3 triliun rupiah subsidi energi, khususnya alokasi untuk BBM bersubsidi mencapai 246,5 triliun rupiah. Ironisnya, terus melambungnya subsidi BBM, penerima subsidi BBM kepada masyarakat mampu. Sekitar 50,9 persen subsidi BBM dinikmati sedikitnya 20 persen orang kelas menengah atas. Timpangnya lagi, rakyat miskin yang menerima subsidi ini tidak lebih dari 6 persen.

Terlebih, alokasi anggaran subsidi BBM tersebut didanai sebagian besar dari utang pemerintah. Kebergantungan BBM impor tentu menambah beban anggaran sehingga mendorong terus melajunya beban utang. Data Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, total utang pemerintah hingga Februari 2014 mencapai 2.428,63 triliun rupiah dengan rasio 24,7 persen terhadap PDB.

Melihat hal ini semua maka sangat wajar kebijakan radikal subsidi BBM harus diambil. Karena jika tidak maka, sekali lagi, hal itu seperti menyandera dana pemerintah yang sebenarnya masih sangat dibutuhkan dibidang lain, terutama untuk membangun infrastruktur dan bidang kesejateraan lain seperti kesehatan dan pendidikan.  

Program pro-rakyat lain

Sekali lagi, untuk menilai pemerintahan ini tidak bisa dengan kacamata hitam putih dan pukul rata. Semangat Nawacita sebenarnya juga terdapat dalam kebijakan-kebijakan yang diambil jokowi. Misalnya saja: pengadaan perumahan rakyat, penyediaan dana kesehatan dan pendidikan lewat program Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Juga ada program-program yang berusaha menyentuh secara langsung masyarakat di pedesaan, petani dan nelayan dengan subsidi-subsidi tertentu.

Masih Perlu Kritik Penerapan Nawa Cita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun