Mohon tunggu...
M Aris Munandar
M Aris Munandar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Dosen

Ubi Societas Ibi Ius (Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hari Anti Narkoba: Keadilan Restoratif Sebagai Alternative Dispute Resolution

26 Juni 2020   11:20 Diperbarui: 27 Juni 2020   15:39 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Narkotika

Pengaturan terhadap penyalahgunaan Narkotika secara realitas tidak memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini dibuktikan berdasarkan data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang dikutip oleh World Drugs Report tahun 2019 menunjukkan bahwa setidaknya ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5,5 % dari jumlah populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15 sampai 64 tahun telah mengonsumsi narkoba, setidaknya orang tersebut pernah mengkonsumsi narkotika di tahun 2017. Sedangkan menurut data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia menunjukkan Angka Prevalensi terhadap narkotika mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2019 terjadi penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2011 prevalensi pada angka 2,23 %, pada tahun 2014 prevalensi pada angka 2,18 %, pada tahun 2017 pada angka 1,77 % dan pada tahun 2019 pada angka 1,80 % (Sumber: (Sumber: Press Realease Akhir Tahun Badan Narkotika Nasional Tahun 2019).

Di samping itu, menurut Data Angka Prevalensi Nasional tahun 2019 terhadap orang yang pernah memakai narkotika menjadi berhenti menggunakan dan tidak mengkonsumsi narkotika kembali, terjadi penurunan sekitar 0,6 % dari jumlah 4,53 juta jiwa (2,40 %) menjadi 3,41 juta jiwa (1,80 %), sehingga hampir sekitar satu juta jiwa penduduk Indonesia berhasil diselamatkan dari pengaruh narkotika. Dari data tersebut terlihat pada tahun 2019 terjadi peningkatan sebesar 0,03 %, dimana kenaikan ini disebabkan oleh adanya peningkatan penyalahgunaan narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) yang di tahun-tahun sebelumnya belum terdaftar di dalam lampiran UU Narkotika dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13 Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. (Sumber: Ibid.).

BNN bersama Polri, TNI, Bea Cukai dan Imigrasi di tahun 2019 telah berhasil mengungkap sebanyak 33.371 kasus narkotika dengan sejumlah barang bukti yaitu narkotika jenis ganja dengan total sebesar 112,2 ton, Sabu seberat 5,01 ton, Ekstasi sebanyak 1,3 juta butir dan PCC sebanyak 1,65 juta butir yang disita dari sejumlah tempat di seluruh Indonesia. Adapun tersangka kasus narkotika yang berhasil ditangkap BNN dan Polri di tahun 2019 sebanyak 42.649 orang pelaku. Di samping itu tahun 2019 BNN berhasil memetakan 98 jaringan sindikat narkotika, sebanyak 84 jaringan sindikat narkotika telah berhasil diungkap BNN. Sebanyak 84 jaringan tersebut terdiri dari 27 jaringan sindikat narkoba internasional, 38 jaringan dalam negeri/jaringan baru dan 19 jaringan sindikat narkoba yang melibatkan warga binaan/napi yang berperan sebagai pengendali jaringan di 14 Lembaga Pemasyarakatan. (Sumber: Ibid.).

Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami banyak kasus tindak pidana penyalahgunaan Narkotika terdapat di Kota Makassar. Berdasarkan data yang diberikan oleh Kapolres Pelabuhan Makassar pada tahun 2019, mengungkapkan bahwasanya sepanjang tahun 2018 hingga 2019 tindak pidana penyalahgunaan Narkotika yang ditangani Polres Pelabuhan Makassar ada 148 laporan, dan tersangkanya ada 202 laki-laki dan 9 orang perempuan, dengan barang bukti 570, 967 gram sabu, 5,8 Kg ganja, 4,7200 gram ekstasi dan 100 butir obat daftar G. (Sumber: https://makassar.tribunnews.com/). Data lain juga diberikan oleh Direktur Narkoba Polda Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa sepanjang tahun 2019 terjadi 1760 kasus, di mana terjadi peningkatan 40 kasus dari tahun 2018. Sedangkan pelaku yang ditangkap sebanyak 2.386 orang dan 2 orang ditembak mati (Sumber: https://news.detik.com/).

Berdasarkan data tersebut menunjukkan adanya suatu realitas sosial bahwa betapa pun banyaknya regulasi dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemangku kebijakan dalam hal ini Pemerintah RI beserta legislatif, tetap saja tindak pidana Narkotika mengalami fluktuasi secara signifikan hingga hari ini. Bahkan terdapat banyak kasus Narkotika telah memasuki rana pejabat publik dan profesi hukum bahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai contoh pada Putusan  Nomor: 85-K/PM III-16/AD/VII/2018 yang diputuskan oleh Hakim Pengadilan Militer III-16 Makassar. Pada putusan tersebut terpidana berinisal TAN yang berpangkat Wadannu Pimu Kima melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I. Adapun jenis Narkotika yang diperjual belikan adalah jenis shabu-shabu sebanyak satu paket kecil seberat 730.389 mg. Pelaku dihukum dengan pidana pokok penjara selama 5 (lima) tahun, denda sebanyak Rp. 1.000.000.000 (Satu Miliar Rupiah) sebagaimana Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika serta pidana tambahan dipecat dari dinas militer sebagaimana Pasal 10 KUHP.  Sebelumnya dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa terpidana pernah dijatuhi sanksi disiplin karena menggunakan Narkotika, bahkan pada saat pelaku ditangkap pada kasus pengederan Narkotika tersebut, terpidana positif menggunakan Narkotika. Namun kelemahan dalam putusan tersebut, Hakim tidak memerintahkan agar pelaku direhabilitas padahal dalam bukti pemeriksaan menunjukkan bahwa terpidana merupakan juga pecandu. Hal ini menunjukkan betapa Narkotika sangatlah besar dampaknya dalam kehidupan bermasyarakat bahkan dalam pertahanan maupun keamanan negara.

Lebih dari itu, terdapat juga fakta bahwa penegakan hukum di Indonesia melalui sistem peradilan pidana yang dianut masih belum mampu mengatasi dan menekan peradaran maupun penggunaan Narkotika. Tentunya hal ini terjadi tidak dengan disengaja, sebagaimana diketahui penegakan hukum di Indonesia masih serupa pendekatan the law and order approach (ketertiban dan hukum) atau biasa disebut law enforcement. Pendekatan ini sudah punah di Amerika Serikat sebab menitikberatkan pada penegakan hukum melalui pihak kepolisian, sehingga sejak tahun 1958 terdapat gagasan terkait sistem peradilan pidana (criminal justice system). Di mana pada masa inilah terjadi perubahan penegakan hukum menuju pada pendekatan sistem pada peradilan pidana. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mardjono Reksodipoetro dalam buku Romli Atmasasmita yang berjudul “Sistem Peradilan Pidana Kontemporer” bahwa  sistem peradilan pidana memiliki 4 (empat) komponen yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Pemidanaan 

Pada dasarnya UU Narkotika juga merupakan bentuk abstraksi manifestasi dari prinsip restorative justice atau restorasi, restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Prinsip dasar restorative justice adalah terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita akibat kejahatan, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.

Selain itu, UU Narkotika juga mengandung prinsip atau asas minimal universal/minimum khusus, yang berarti penjatuhan hukuman terendah (minimal) yang bersifat umum (universal) yang berlaku bagi setiap perkara dengan jenis hukumannya masing-masing. Pengertian “maksimal spesial” adalah penjatuhan hukuman tertinggi (maksimal) yang bersifat khusus (spesial) atas masing-masing, ketentuan undang-undang yang berbeda atau telah ditentukan maksimalnya. Atas dasar asas tersebut maka dijamin adanya kepastian hukum dalam penerapan jenis pidana dalam hukum pidana artinya dengan asas tersebut tentu “mengikat para Hakim pada batas minimal dan batas maksimal penghukuman” yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana Narkotika. Atas dasar asas penghukuman tersebut artinya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari batas minimal dan juga Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan undang-undang.

Hukum yang adil tentunya harus memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap orang, sebagaimana pandangan J.P. Plamenatz yang merumuskan keadilan sebagai “giving every man his due, and the setting, either by compensating the victim of wrong or by punishing the doer of it (memberikan setiap orang apa yang semestinya, dan membenarkan kesalahan baik dengan memberikan ganti rugi kepada korban maupun dengan memberikan hukuman dari kesalahan itu). Tujuan pada prinsip restorative justice adalah untuk mereformasi criminal justice system yang selama ini tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia. Konsep criminal justice system dinilai telah mengalami ketertinggalan dalam hal pemidanaan. Selain karena sistem pemidanaannya yang terbilang masih mengedepankan asas primum remidium, juga menjadikan hukuman penjara sebagai jalur yang utama. Padahal dalam konteks kekinian, sistem pemidanaan bukan lagi bertumpu pada pelaku melainkan telah mengarah pada penyelerasan antara pelaku maupun korban dalam sebuah perkara pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun