"Aku... aku mendengar suara," jawab Amara terengah-engah. "Seseorang mengatakan kita harus pergi dari sini."
Bram memeluk Amara erat. "Itu hanya imajinasimu. Kau terlalu memikirkan cerita takhayul itu. Tidak ada siapa-siapa di luar."
Tapi Amara tahu apa yang ia dengar. Itu nyata.
Keesokan harinya, Amara mengunjungi tetangga mereka, Bu Surti, seorang wanita tua yang telah tinggal di Sukamaju seumur hidupnya. Amara berharap mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang tanah yang mereka beli.
"Tanah itu... seharusnya tidak boleh dibangun, Nak," kata Bu Surti dengan nada serius. "Dulu, ada keluarga yang tinggal di sana, tapi semuanya tewas dalam kebakaran yang misterius. Sejak itu, banyak kejadian aneh yang terjadi di sana. Orang-orang percaya, roh mereka masih terperangkap di tanah itu."
Amara terdiam, merasakan ketakutan yang merayap naik di punggungnya. "Kenapa tidak ada yang memberitahu kami sebelumnya?"
"Kami pikir kau dan suamimu tidak akan percaya. Lagipula, sudah banyak orang yang mencoba membangun di sana, tapi mereka semua pergi. Tak satu pun bertahan lebih dari sebulan."
Amara kembali ke rumah dengan perasaan kalut. Ia ingin menceritakan semuanya pada Bram, tapi ia tahu suaminya pasti akan menganggap ini hanya omong kosong.
Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar. Kali ini lebih keras, seperti seseorang berteriak dari kejauhan. Amara menutup telinganya, berusaha mengabaikan suara itu, namun semakin lama semakin jelas.
"Pergi... atau kalian akan bernasib sama."
Amara tak tahan lagi. Ia berlari ke kamar dan mengguncang tubuh Bram yang sedang tertidur.