Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah salah satu mahasiswi semester akhir. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra yang memiliki nilai moral tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jejak di Ujung Waktu

16 November 2024   18:18 Diperbarui: 16 November 2024   18:39 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pagi itu, Rio terbangun dengan perasaan ganjil. Mimpinya semalam begitu nyata: ia melihat dirinya berjalan di tengah padang rumput luas yang asing. Di kejauhan, sosok seorang gadis berdiri memunggunginya, melambai seolah memanggil, tapi saat ia mencoba mendekat, gadis itu menghilang begitu saja. Ketika bangun, hatinya masih terasa berat---seolah mimpinya ingin memberitahukan sesuatu.

Setelah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Rio berjalan keluar kamar dan melihat kalender. 28 Oktober. Hari ini, sekolahnya akan mengadakan acara mengenang alumni yang gugur dalam kecelakaan misterius lima tahun lalu. Rio tak pernah benar-benar peduli soal peringatan seperti ini, tetapi ada sesuatu tentang acara tahun ini yang membuatnya gelisah.

Ia mengambil tasnya dan berjalan menuju sekolah dengan rasa tak nyaman.

Saat tiba di aula sekolah, suasana sudah ramai. Foto-foto para alumni terpajang di papan besar, lengkap dengan karangan bunga dan lilin. Di antara foto-foto itu, pandangan Rio berhenti pada gambar seorang gadis dengan senyum tipis---Rania, siswa yang terkenal sebagai sosok ceria dan penuh semangat. Ia ingat, Rania meninggal dalam kecelakaan bus lima tahun lalu, bersama dengan empat siswa lainnya.

Rio tak punya hubungan dekat dengan Rania saat itu, tapi mereka pernah satu kelompok dalam kegiatan pramuka. Meski pertemuan mereka singkat, Rio selalu merasa ada sesuatu yang aneh tentang kepergian gadis itu---terlalu cepat dan tak terduga.

Sebuah suara menyadarkannya dari lamunannya. "Hei, kamu masih ingat Rania?"

Rio menoleh dan melihat Dian, teman sekelasnya. Dian tersenyum kecil. "Kamu kayaknya mikirin sesuatu."

Rio menggeleng pelan. "Cuma nostalgia aja. Lucu ya, betapa cepat waktu berlalu."

Dian mengangguk, lalu menatap foto Rania sejenak sebelum berkata pelan, "Katanya, sebelum meninggal, Rania pernah bilang sesuatu yang aneh ke beberapa teman dekatnya."

"Kayak apa?" tanya Rio, merasa ada hawa dingin merambat di tengkuknya.

"Dia bilang, ada satu hal yang harus dia selesaikan. Tapi nggak sempat." Dian mengangkat bahu. "Nggak ada yang tahu maksudnya."

Kata-kata Dian membuat dada Rio berdesir. Apa sebenarnya yang belum selesai?

Sepulang sekolah, rasa penasaran Rio semakin kuat. Ia memutuskan mencari tahu lebih banyak tentang Rania. Ia mulai dengan membuka kembali akun media sosial milik gadis itu yang ternyata masih aktif, meski sudah lama tak ada unggahan baru.

Saat menggulir ke bawah, sebuah postingan terakhir menarik perhatiannya. Itu foto padang rumput dengan tulisan singkat: "Jika aku bisa kembali ke sini, semuanya akan berbeda."

Rio merasakan jantungnya berdebar. Padang rumput dalam foto itu tampak sangat mirip dengan tempat dalam mimpinya. Bagaimana bisa ia bermimpi tentang sesuatu yang begitu spesifik? Apakah ada pesan yang coba disampaikan?

Malam itu, Rio merasa sulit tidur. Akhirnya, ia memutuskan kembali membuka ponsel dan menatap foto padang rumput itu berulang kali. Di bagian komentar, banyak ucapan belasungkawa, tapi salah satu komentar membuat Rio terpaku:

"Tunggu aku di tempat biasa. Masih ada waktu."

Komentar itu dikirim oleh seseorang bernama Ilham, tepat sehari sebelum kecelakaan terjadi.

Keesokan harinya, Rio mencari tahu siapa Ilham. Setelah bertanya kepada beberapa teman dan guru, ia akhirnya menemukan jawabannya. Ilham adalah salah satu korban kecelakaan itu. Ia dan Rania diketahui sangat dekat, meski hubungan mereka tak pernah resmi.

Merasa ada yang janggal, Rio memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Ia menemukan bahwa sebelum kecelakaan, Rania dan Ilham sering pergi ke sebuah bukit di pinggir kota---tempat yang mereka sebut "padang rumput rahasia."

Dengan dorongan rasa penasaran yang semakin membara, Rio memutuskan pergi ke bukit itu di akhir pekan.

Sabtu pagi, Rio menempuh perjalanan panjang menuju bukit yang disebut-sebut sebagai tempat rahasia itu. Ia tiba di sana menjelang siang, diiringi angin sepoi-sepoi yang membawa aroma rumput basah. Di hadapannya, hamparan rumput hijau terbentang luas, mirip dengan foto di akun Rania.

Rio melangkah perlahan, menyusuri padang rumput itu dengan hati-hati. Di tengah-tengah, ia menemukan sesuatu yang membuatnya tercekat---sebuah kalung kecil dengan liontin berbentuk bulan sabit. Ia ingat, Rania sering memakai kalung serupa.

Saat menggenggam kalung itu, angin tiba-tiba berembus kencang. Suasana seolah berubah: suara gemerisik daun terdengar seperti bisikan samar, dan untuk sesaat, Rio merasa seperti tak sendirian.

Kemudian, dari sudut matanya, ia melihat sosok gadis dengan rambut tergerai, berdiri membelakanginya. Rio mengenali sosok itu. Itu Rania---atau setidaknya, sesuatu yang mirip dengannya.

"Rania?" panggil Rio dengan suara serak.

Sosok itu tak berbalik, hanya berdiri diam, seolah menunggu sesuatu.

Rio mencoba mendekat, tapi langkahnya terasa berat. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya pelan.

Sosok itu perlahan berbalik, menatap Rio dengan mata yang kosong namun penuh makna. Lalu ia berbisik pelan, "Aku hanya ingin menyelesaikan janji."

"Janji apa?" Rio bertanya, meski ia sudah tahu jawabannya dalam hati.

Rania tersenyum samar. "Ilham... Aku tak sempat menemuinya. Bisa kau sampaikan pesan dariku?"

Rio merasa tenggorokannya tercekat. "Apa pesannya?"

"Katakan... aku memaafkannya."

Sebelum Rio bisa bertanya lebih lanjut, sosok Rania perlahan memudar bersama embusan angin. Hanya kalung di tangan Rio yang tersisa, dingin dan nyata.

Kembali ke rumah, Rio mencoba memahami kejadian aneh di padang rumput itu. Ia tak tahu apakah yang dilihatnya nyata atau sekadar ilusi, tapi satu hal pasti ada sesuatu yang belum terselesaikan antara Rania dan Ilham.

Rio akhirnya menulis pesan singkat di akun media sosial Ilham, yang meski sudah tak aktif, masih bisa diakses. Ia menulis: "Rania memaafkanmu."

Beberapa menit kemudian, layar ponselnya bergetar. Pesan itu mendapat respons---sebuah pesan otomatis dari akun yang dikelola keluarga Ilham:

"Terima kasih telah mengingat mereka. Semoga mereka beristirahat dalam damai."

Rio tersenyum tipis. Mungkin itu jawaban yang dibutuhkan. Kini, ia merasa sedikit lebih ringan, seolah ada beban yang terangkat dari dadanya.

Di luar jendela, angin malam berembus pelan, membawa aroma rumput dan kenangan yang tak lagi terasa berat.

Sumbawa, 16 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun