Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswa semester 6. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Langkah di Antara Dua Dunia

13 Oktober 2024   19:19 Diperbarui: 16 Oktober 2024   18:31 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pesta cahaya. (Foto: AP PHOTO/DON CAMPBELL via KOMPAS.ID)

Hening menyelimuti perpustakaan tua di sudut kota saat Aditya menemukan sebuah buku lusuh dengan sampul hijau pudar. Buku itu tergeletak di rak paling atas, seolah menunggu untuk ditemukan. 

Judulnya, Jejak Waktu, menarik perhatian Aditya. Di dalamnya terselip sebuah foto: seorang perempuan muda dengan senyum misterius dan tulisan tangan di baliknya: "Untuk Aditya. Temukan aku."

Aditya tertegun. Namanya tercetak jelas di situ. Padahal ia tidak pernah ingat punya hubungan dengan foto ini atau siapa perempuan di dalamnya. Penasaran dan sedikit terguncang, Aditya memutuskan membawa buku itu pulang.

Sejak saat itu, hidupnya berubah. Ia mulai diganggu oleh mimpi-mimpi aneh---tentang tempat yang tidak dikenalnya, dan tentang perempuan dari foto itu. Dalam mimpi, perempuan itu selalu berdiri di jembatan tua, menatap langit dengan ekspresi sedih, seakan menunggunya datang.

Aditya merasa ada pesan tersembunyi di dalam mimpi-mimpi itu, seolah ia dipanggil untuk menyelesaikan sesuatu yang tak pernah ia mulai.

Malam berikutnya, Aditya membuka buku itu dan menemukan sesuatu yang lebih aneh---peta tua yang menggambarkan kota mereka, tetapi dengan beberapa tempat yang tidak lagi ada di masa sekarang. Salah satu lokasi yang ditandai dengan tinta merah adalah Jembatan Serayu---jembatan yang sering muncul dalam mimpi-mimpinya.

Esok harinya, Aditya pergi ke lokasi tersebut. Jembatan Serayu ternyata sudah lama ditutup dan terlupakan. Namun, nalurinya mendorongnya untuk melangkah lebih jauh. Saat ia melintasi jembatan yang rapuh itu, angin dingin berembus, membawa aroma nostalgia yang tak bisa dijelaskan.

Di tengah jembatan, Aditya merasa dunia di sekitarnya berubah. Udara menjadi lebih hangat, dan suara kendaraan dari kejauhan tiba-tiba menghilang. 

Ketika ia menoleh, sekelilingnya telah berubah---ia berada di kota yang sama, tetapi tampak seperti puluhan tahun lebih muda. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang dengan pakaian era 80-an, dan suasana terasa asing tapi akrab sekaligus.

Saat kebingungan menyelimuti pikirannya, Aditya mendengar suara lembut di belakangnya. "Kamu akhirnya datang," kata seorang perempuan.

Aditya berbalik dan menemukan perempuan dari foto itu berdiri di sana. Dia mengenakan gaun sederhana, dan senyum di wajahnya persis seperti yang ada di foto. "Namaku Laras," katanya sambil menatap Aditya dengan penuh kehangatan.

Aditya mengerjapkan mata, bingung. "Apa ini? Bagaimana aku bisa ada di sini?"

Laras tersenyum lembut. "Kamu sedang melintasi waktu. Aku tahu ini membingungkan, tapi ada sesuatu yang harus kita selesaikan bersama."

Aditya tak tahu harus berkata apa. Semua ini terasa seperti mimpi, tetapi terlalu nyata untuk dianggap hanya bunga tidur. Dengan tenang, Laras menggandeng tangannya. "Ayo ikut aku. Ada banyak yang harus kamu ketahui."

Mereka berjalan menyusuri kota dalam suasana yang sunyi. Laras bercerita bahwa Aditya, di masa lalu, adalah sahabat sekaligus orang yang sangat ia cintai. 

Namun, sebuah kecelakaan tragis memisahkan mereka. Saat itu, Aditya kehilangan ingatan tentang Laras, dan hidup mereka berjalan di jalur yang berbeda.

"Aku sudah menunggumu di sini selama bertahun-tahun," kata Laras pelan. "Aku berharap, suatu hari kamu akan menemukan buku itu dan ingat siapa aku."

Aditya merasakan campuran rasa bersalah dan haru. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menunggu seseorang yang bahkan tak ingat pernah mencintaimu. "Maaf, Laras. Aku... aku tidak tahu," katanya dengan suara serak.

Laras hanya tersenyum. "Bukan salahmu. Waktu adalah hal yang rumit. Tapi sekarang kamu di sini, dan itu yang penting."

Laras menjelaskan bahwa mereka memiliki kesempatan sekali seumur hidup untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Di dalam buku Jejak Waktu, tersembunyi petunjuk tentang cara menghentikan kecelakaan yang memisahkan mereka. Mereka harus kembali ke hari di mana segalanya berubah, dan mencegah tragedi itu terjadi.

"Tapi ada konsekuensinya," kata Laras. "Jika kita berhasil, kamu akan kembali ke masa depan tanpa ingat apa pun tentangku. Semua kenangan kita akan lenyap."

Aditya merasa dilematis. Ia baru saja menemukan kembali seseorang yang begitu berarti, dan kini ia dihadapkan pada pilihan untuk kehilangannya lagi. Namun, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk memperbaiki segalanya.

"Kalau ini bisa membuatmu bahagia, aku rela melakukannya," kata Aditya akhirnya.

Mereka melompat ke masa kritis---hari kecelakaan yang merenggut Laras. Waktu terasa melambat saat mereka tiba di tempat kejadian. Laras menunjukkan sebuah mobil yang melaju kencang, tak terkendali, menuju ke arah tempat mereka berdua berdiri pada saat itu di masa lalu.

"Kita harus membuat mereka berhenti!" seru Laras.

Tanpa ragu, Aditya berlari ke tengah jalan dan melambai-lambaikan tangannya. Mobil itu berhasil berhenti beberapa meter dari mereka. Dua sosok muda---Aditya dan Laras di masa lalu---berdiri di trotoar, selamat dari bencana.

Laras menatap Aditya dan tersenyum. "Kita berhasil."

Namun, saat itu juga, Aditya merasa tubuhnya mulai pudar. Waktu seakan menariknya kembali ke masa depan, meninggalkan Laras di masa lalu.

Aditya terbangun di perpustakaan, dengan buku Jejak Waktu masih di tangannya. Namun, foto Laras sudah tak ada di sana. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, tetapi tak bisa mengingat apa pun. Hanya perasaan hangat dan damai yang tersisa, seakan ia telah menyelesaikan sesuatu yang penting.

Ketika ia keluar dari perpustakaan, senja telah tiba. Aditya berjalan tanpa tujuan hingga tiba di jembatan tua tempat ia memulai perjalanannya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma nostalgia yang tak bisa ia pahami.

Di ujung jembatan, ia melihat seorang perempuan berdiri, menatap langit jingga. Perasaan aneh muncul di dadanya---seperti dj vu yang kuat.

Perempuan itu menoleh dan tersenyum. "Hai," katanya lembut.

Aditya merasa hatinya bergetar, meski ia tak tahu kenapa. Ia tersenyum balik, dan tanpa sadar berkata, "Hai. Apa kita pernah bertemu?"

Perempuan itu, yang tak lain adalah Laras, hanya tersenyum. "Mungkin."

Mereka berdua berdiri di sana, menikmati senja bersama. Meskipun ingatan Aditya tentang masa lalu telah hilang, hati mereka tetap saling mengenal. Cinta mereka tak membutuhkan kenangan untuk tetap hidup---karena beberapa hal memang sudah ditakdirkan untuk selalu menemukan jalannya.

Sumbawa, 13 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun