"Mungkin ada seseorang di sana," bisik Andi, lebih kepada dirinya sendiri. Ia melangkah maju, mendekati pintu itu.
Namun sebelum tangannya sempat menyentuh gagang pintu, pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Mereka semua terperanjat, mundur beberapa langkah. Tidak ada yang berada di balik pintu itu---hanya kegelapan yang seakan memanggil mereka masuk.
"Kita tidak seharusnya di sini," kata Tio dengan nada ketakutan. Matanya menatap pintu itu dengan ngeri.
Andi, yang meski ketakutannya mulai merayap, tetap menolak untuk mengakui perasaannya. "Kita lihat saja apa yang ada di dalam," katanya sambil melangkah masuk.
Ruangan itu kosong. Hanya ada jendela besar yang menghadap ke halaman belakang rumah, dengan gorden tebal berwarna merah darah yang terlihat lusuh. Namun, di tengah-tengah ruangan, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. Sebuah meja tua yang penuh dengan tumpukan kertas dan buku-buku tebal, seolah-olah baru saja ditinggalkan oleh pemiliknya.
"Apa ini?" Bayu mendekati meja itu dan mulai membolak-balik salah satu buku yang tergeletak di atasnya. "Ini... buku harian?"
Dia membuka salah satu halaman dan mulai membaca dalam hati. Raut wajahnya berubah seiring dengan setiap kata yang ia baca. "Ini... aneh sekali."
"Apa isinya?" tanya Andi penasaran.
Bayu membacakan salah satu bagian dengan suara pelan, "Aku mendengar mereka lagi malam ini. Suara-suara dari balik dinding. Mereka memanggilku. Mereka bilang mereka ingin aku datang kepada mereka. Aku takut, tapi aku tak bisa berhenti mendengar mereka. Aku tahu, cepat atau lambat, aku akan pergi... ke tempat di mana mereka berada."
Dina merinding. "Siapa yang menulis itu?"
"Mungkin pemilik rumah ini," kata Faris, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan. "Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kita harus keluar sekarang."