Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswa semester 6. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Diary: Seutas Kenangan yang Berkesan

2 September 2024   20:07 Diperbarui: 2 September 2024   20:10 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hari ini, aku bangun dengan rasa rindu yang menyesakkan dada, seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Pagi ini begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui celah jendela kamarku. Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan pemandangan taman belakang rumah. Di balik embun yang menempel pada kaca, aku melihat bayangan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas di ingatanku. Seutas kenangan yang begitu berkesan, yang mungkin tak akan pernah pudar dari ingatanku.

Kembali ke tahun 2010, saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Aku adalah seorang remaja yang tidak terlalu menonjol di sekolah, lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan daripada berkumpul dengan teman-teman. Hari-hariku penuh dengan buku dan imajinasi, hingga suatu hari, hidupku berubah saat aku bertemu dengannya.

Namanya Arga, seorang siswa pindahan yang baru saja bergabung di kelas kami. Dari awal, dia berbeda dari yang lain. Arga tidak terlalu banyak bicara, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat orang-orang tertarik. Entah itu caranya tersenyum, atau mungkin cara dia menatap dunia dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Yang pasti, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda ketika melihatnya.

Pertemuan pertama kami terjadi di perpustakaan sekolah, tempat favoritku. Saat itu, aku sedang mencari sebuah buku di rak paling atas. Tanpa disangka, buku yang kutarik membuat beberapa buku lain jatuh. Sebelum aku sempat mengumpulkan buku-buku yang berserakan, tiba-tiba Arga muncul dan membantu. "Buku yang bagus," katanya sambil memberikan salah satu buku yang jatuh. Aku hanya bisa tersenyum kikuk dan mengucapkan terima kasih.

Sejak saat itu, kami sering bertemu di perpustakaan. Arga ternyata juga seorang kutu buku, sama sepertiku. Kami mulai berbicara tentang banyak hal---mulai dari buku, musik, hingga mimpi-mimpi kami di masa depan. Aku merasa nyaman bersamanya, seperti menemukan seorang teman sejati. Setiap kata yang dia ucapkan selalu penuh makna, membuatku merasa bahwa dunia ini penuh dengan hal-hal menarik yang belum pernah kuketahui sebelumnya.

Hari-hari terus berlalu, dan persahabatan kami semakin erat. Aku dan Arga sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar. Ada satu momen yang sangat berkesan bagiku, dan mungkin akan selalu menjadi kenangan yang tak akan pernah kulupakan.

Suatu sore di akhir pekan, Arga mengajakku untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Dia bilang, ada tempat yang ingin dia tunjukkan padaku. Kami berjalan menyusuri jalan-jalan kecil yang penuh dengan kenangan masa kecilnya, hingga akhirnya kami tiba di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung-gedung tua. Taman itu begitu indah, dengan bunga-bunga yang bermekaran dan sebuah danau kecil di tengahnya. Arga berkata, "Ini adalah tempat favoritku. Aku sering datang ke sini saat butuh waktu untuk berpikir."

Kami duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau. Arga mulai bercerita tentang keluarganya, tentang mimpi-mimpinya, dan tentang ketakutannya akan masa depan. Dia adalah seorang pemimpi besar, tetapi juga realistis. Dia tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, tetapi dia yakin bahwa setiap orang memiliki jalan mereka masing-masing.

Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Arga berbicara dengan nada yang serius, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Setelah beberapa saat hening, dia menatapku dengan mata yang penuh dengan kehangatan. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu," katanya dengan suara pelan.

Aku menatapnya, merasa jantungku berdetak lebih cepat. "Apa itu, Arga?"

Dia tersenyum, senyum yang selalu bisa membuatku merasa tenang. "Kau adalah orang yang sangat berarti bagiku. Aku merasa beruntung bisa mengenalmu, dan aku tidak ingin kehilanganmu."

Kata-kata itu membuatku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa. Selama ini, aku juga merasakan hal yang sama, tetapi aku tidak pernah memiliki keberanian untuk mengatakannya. Namun, mendengar Arga mengungkapkan perasaannya, membuat hatiku dipenuhi oleh rasa hangat yang sulit dijelaskan.

Aku akhirnya tersenyum dan berkata, "Aku juga merasakan hal yang sama, Arga. Terima kasih sudah menjadi teman yang begitu baik untukku."

Arga mengangguk, lalu dia mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku jaketnya. "Ini untukmu," katanya sambil menyerahkan sebuah gelang kecil yang terbuat dari tali berwarna merah. "Aku membuatnya sendiri. Anggap saja ini sebagai simbol persahabatan kita."

Aku menerimanya dengan hati yang berdebar. Gelang itu sederhana, tetapi penuh makna. "Terima kasih, Arga. Aku akan selalu menjaga ini."

Hari itu berakhir dengan senyuman dan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sejak saat itu, kami semakin dekat, dan setiap hari bersama Arga menjadi kenangan yang tak terlupakan bagiku.

Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di akhir tahun ajaran, Arga memberitahuku bahwa dia harus pindah ke kota lain karena pekerjaan ayahnya. Berita itu menghantamku seperti petir di siang bolong. Aku merasa dunia ini tidak adil. Bagaimana bisa seseorang yang begitu berarti dalam hidupku harus pergi?

Malam sebelum kepergiannya, Arga mengajakku ke taman tempat pertama kali dia memberikan gelang itu. Kami duduk di bangku yang sama, dalam keheningan yang penuh makna. Arga menatap langit, lalu berkata, "Aku akan merindukan tempat ini, dan juga semua kenangan yang kita buat di sini."

Aku tidak bisa menahan air mataku. "Aku juga akan merindukanmu, Arga. Terima kasih untuk semua yang telah kau berikan padaku."

Dia tersenyum, meskipun aku tahu di balik senyumnya ada kesedihan yang mendalam. "Aku juga berterima kasih padamu. Kau adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Dan ingat, meskipun kita jauh, kita masih bisa saling menjaga satu sama lain."

Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang mengikat kami, meskipun jarak memisahkan kami. Sebuah ikatan yang tak terlihat, tetapi kuat---seutas kenangan yang berkesan, yang akan selalu ada dalam hatiku.

Setelah Arga pergi, hidupku terasa berbeda. Hari-hari yang dulu penuh warna kini terasa hampa. Aku masih sering mengunjungi taman tempat kami sering bertemu, duduk di bangku yang sama, berharap bisa merasakan kehadirannya kembali. Namun, yang tersisa hanyalah kenangan---kenangan indah yang terkadang membuatku tersenyum, tetapi juga membuat hatiku terasa kosong.

Aku mulai belajar menerima kenyataan bahwa Arga tidak akan kembali, setidaknya tidak dalam waktu dekat. Namun, setiap kali aku melihat gelang merah yang masih aku kenakan di pergelangan tanganku, aku merasa bahwa dia masih bersamaku, dalam cara yang berbeda. Gelang itu menjadi pengingat bahwa persahabatan kami masih ada, meskipun kami terpisah oleh jarak dan waktu.

Selama bertahun-tahun, aku belajar untuk tumbuh dan berkembang dengan kenangan itu. Arga mengajarkanku banyak hal---tentang kehidupan, tentang persahabatan, dan tentang pentingnya menghargai setiap momen yang kita miliki. Aku menjadi lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan hidup.

Namun, ada kalanya aku merasa rindu yang tak tertahankan. Rindu akan tawa dan senyumnya, akan percakapan panjang kami di perpustakaan, dan akan saat-saat di taman yang terasa seperti dunia milik kami berdua. Di tengah kesibukan hidupku, kenangan itu selalu kembali, menghiasi hari-hariku dengan perasaan nostalgia yang manis sekaligus pahit.

Kini, lebih dari satu dekade telah berlalu sejak terakhir kali aku bertemu Arga. Kami masih berkomunikasi sesekali, tetapi kehidupan membawa kami ke arah yang berbeda. Dia sekarang tinggal di luar negeri, mengejar karir dan impiannya. Sementara aku, tetap tinggal di kota ini, menjalani hidupku dengan penuh kenangan yang berharga.

Namun, meskipun waktu terus berlalu, kenangan tentang Arga dan hari-hari yang kami habiskan bersama akan selalu menjadi bagian dari diriku. Seutas kenangan yang berkesan, yang tidak akan pernah pudar meskipun tahun-tahun berlalu. Setiap kali aku merasa ragu atau takut akan masa depan, aku akan mengingat kata-kata Arga---bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing, dan yang terpenting adalah kita tidak pernah berhenti bermimpi.

Hari ini, saat aku menuliskan semua ini, aku merasa damai. Gelang merah itu masih ada di pergelangan tanganku, meskipun warnanya sudah mulai memudar. Namun, maknanya tetap sama, menjadi pengingat bahwa dalam hidup ini, ada hal-hal yang mungkin tidak bisa kita genggam selamanya, tetapi akan selalu tinggal di hati kita sebagai kenangan yang berkesan.

Terima kasih, Arga, untuk seutas kenangan yang tak akan pernah kulupakan.

Cerita ini menggambarkan perjalanan emosi yang mendalam, dari pertemuan yang tak terduga, persahabatan yang tumbuh, hingga perpisahan yang meninggalkan kenangan abadi. Harapan saya, cerita ini bisa memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana sebuah kenangan bisa begitu berharga dan tetap hidup dalam hati kita.

Sumbawa, 2 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun