Rumah tua itu berdiri di ujung desa, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan penduduk lainnya. Terletak di tepi hutan, rumah tersebut sudah lama ditinggalkan, hampir tidak ada yang berani mendekatinya. Kabarnya, rumah itu memiliki cerita kelam yang membuat penduduk desa lebih memilih untuk menjauh.
Namun, bagi Arya, rumah itu menawarkan tantangan. Arya adalah seorang penulis muda yang sedang mencari inspirasi untuk novel barunya. Setelah mendengar cerita tentang rumah tersebut dari seorang penduduk desa, Arya memutuskan untuk menyewa rumah itu selama beberapa bulan. Ia berharap suasana mencekam dan cerita-cerita seram yang melingkupi rumah itu akan memberinya inspirasi yang ia cari.
Hari pertama Arya tiba di rumah itu, langit mendung, dan angin berhembus kencang dari arah hutan. Arya berdiri di depan rumah, menatap jendela-jendela yang tampak kosong dan gelap. Daun-daun kering beterbangan di sekitar rumah, sementara pepohonan di hutan berderak-derak, seolah memberi peringatan pada Arya.
Arya tidak menghiraukan perasaan tidak nyaman yang perlahan mulai merayapi dirinya. Dia menarik napas dalam-dalam, meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanya perasaannya saja. Dengan mantap, ia membuka pintu depan rumah yang berderit keras. Aroma debu dan kayu tua segera menyergap hidungnya. Rumah itu gelap dan dingin, hanya ditemani suara angin yang berhembus melalui celah-celah dinding kayu yang sudah lapuk.
Langkah pertama Arya di dalam rumah diiringi oleh suara lantai kayu yang berderit. Dia meraba dinding di samping pintu, mencari saklar lampu. Saat ia menemukannya dan menekan tombol itu, lampu tua di langit-langit berkedip-kedip sebelum akhirnya menyala. Cahaya kekuningan yang redup mengungkapkan ruangan utama rumah itu. Di sana ada sofa tua yang penuh debu, meja kayu yang sudah mulai lapuk, dan beberapa kursi yang sepertinya sudah tidak kuat lagi untuk diduduki.
Arya meletakkan tasnya di atas sofa dan mulai menjelajahi rumah itu. Dia menemukan dapur kecil di sebelah ruang tamu, dengan peralatan dapur yang sudah berkarat dan sebuah lemari kayu yang pintunya hampir copot. Di lantai atas, ada dua kamar tidur yang juga tidak terawat. Salah satu kamar masih memiliki tempat tidur dengan kasur yang sudah usang, sementara kamar yang lain tampak kosong.
Saat Arya membuka jendela di kamar tidurnya, dia bisa melihat hutan lebat yang terbentang luas di belakang rumah. Pohon-pohon besar dengan dedaunan tebal menutupi hampir seluruh pandangan, hanya menyisakan sedikit cahaya yang berhasil menembus ke dalam hutan. Hutan itu tampak sangat sunyi, namun ada sesuatu yang membuat Arya merasa bahwa dia sedang diawasi.
Tiba-tiba, seekor burung gagak terbang melintasi jendela, menjerit keras sebelum menghilang di antara pepohonan. Arya tersentak, tetapi segera menenangkan dirinya. "Ini hanya hutan biasa," gumamnya pada diri sendiri. "Tidak ada yang perlu ditakutkan."
Malam itu, Arya mulai menulis. Dia duduk di meja yang ada di ruang tamu, mengetik dengan laptopnya. Inspirasi mengalir dengan lancar, dan Arya tenggelam dalam cerita yang sedang ia ciptakan. Namun, semakin larut malam, dia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasakan hawa dingin yang tiba-tiba merayap di sekujur tubuhnya, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya dari sudut ruangan.
Arya menoleh, namun tidak ada apa-apa. Ruangan itu tampak sama seperti saat pertama kali dia masuk. Namun, perasaan aneh itu tidak hilang. Dia mencoba mengabaikannya dan kembali fokus pada tulisannya, tetapi suara berderit di lantai atas membuatnya terhenti.
Arya menatap langit-langit, mendengarkan dengan seksama. Suara berderit itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Sepertinya ada seseorang yang sedang berjalan di lantai atas. Arya mematikan laptopnya dan berdiri perlahan. Dia mengambil senter dari tasnya dan mulai menaiki tangga dengan hati-hati.
Tangga kayu itu berderit di setiap langkahnya, menambah ketegangan di udara. Saat sampai di lantai atas, suara itu terhenti. Arya menyinari lorong dengan senter, mencoba melihat apa yang bisa memicu suara tadi. Semua pintu kamar tertutup rapat, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Arya menghela napas lega dan menganggap bahwa mungkin suara itu berasal dari kayu tua yang mulai lapuk.
Namun, saat Arya berbalik untuk kembali ke bawah, dia mendengar suara tawa pelan di belakangnya. Tubuhnya membeku, dan bulu kuduknya meremang. Tawa itu terdengar seperti suara anak kecil, lembut dan mengerikan di saat yang bersamaan.
Arya perlahan memutar tubuhnya, dan di ujung lorong, dia melihat bayangan seorang anak kecil. Anak itu berdiri di sana, menatap Arya dengan mata hitam legam. Wajahnya pucat, hampir transparan, dengan senyum yang membeku di wajahnya. Anak itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, menatap Arya dengan tatapan yang menembus jiwanya.
Arya tidak bisa bergerak. Dia ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokannya. Detik-detik berlalu seperti jam, dan bayangan anak kecil itu perlahan-lahan memudar, menghilang ke dalam kegelapan. Setelah bayangan itu menghilang sepenuhnya, Arya akhirnya bisa menarik napas dan berlari ke bawah. Dia mengunci dirinya di kamar dan tidak keluar hingga pagi.
Keesokan paginya, Arya terbangun dengan perasaan was-was. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia lihat malam sebelumnya hanyalah ilusi, efek dari kelelahan dan imajinasi yang terlalu aktif. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumah itu.
Hari-hari berikutnya, Arya mencoba untuk melanjutkan menulis, tetapi setiap kali malam tiba, perasaan aneh itu kembali. Dia mulai mendengar suara-suara dari dalam dinding, bisikan-bisikan yang terdengar samar, seolah-olah ada seseorang yang sedang berbicara di dekat telinganya. Suara-suara itu terus menghantuinya, bahkan ketika dia mencoba untuk tidur.
Malam ketiga, Arya terbangun oleh suara langkah kaki di luar kamarnya. Langkah-langkah itu terdengar semakin dekat, seolah-olah seseorang berjalan menuju pintu kamarnya. Arya mendengar suara kenop pintu yang berputar perlahan, dan dengan gemetar, dia menarik selimutnya lebih erat.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan bayangan anak kecil itu muncul lagi. Kali ini, anak itu berdiri di ambang pintu, menatap Arya dengan tatapan kosongnya. "Main dengan aku," suara anak itu terdengar, begitu pelan namun jelas di telinga Arya.
Arya tidak bisa bergerak, tidak bisa berpikir. Ketakutan yang mencekam tubuhnya membuatnya benar-benar lumpuh. Bayangan anak itu kemudian berjalan mendekat, langkah-langkahnya nyaris tidak terdengar. Arya bisa merasakan suhu ruangan turun drastis saat anak itu mendekat.
Anak itu berhenti di tepi tempat tidur Arya dan menyodorkan tangannya yang kecil dan pucat. "Main dengan aku," katanya lagi, dengan nada suara yang terdengar seperti permohonan.
Arya menatap tangan kecil itu, tetapi dia tidak bisa mengulurkan tangannya. Jiwanya berteriak untuk lari, tetapi tubuhnya tidak menurut. Anak itu tampak kecewa, dan wajahnya berubah menjadi lebih menyeramkan. Senyum yang tadinya lembut sekarang tampak penuh dengan kebencian. Mata hitamnya menatap Arya dengan intensitas yang menakutkan.
Lalu, tiba-tiba anak itu menghilang. Seolah-olah dia ditelan oleh kegelapan yang mengelilingi kamar itu. Arya masih tidak bisa bergerak selama beberapa menit, sampai akhirnya tubuhnya mulai merespons lagi. Dengan gemetar, dia bangkit dari tempat tidur dan menyalakan semua lampu di kamar itu.
Namun, meskipun lampu sudah menyala terang, ketakutan yang Arya rasakan tidak hilang. Dia tahu, sekarang dia tidak sendirian di rumah itu. Ada sesuatu yang mengintainya, dan dia merasa bahwa setiap malam, kekuatan jahat itu semakin dekat dengannya.
Pagi berikutnya, Arya memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah itu. Dia pergi ke perpustakaan desa, mencari arsip-arsip lama yang mungkin bisa menjelaskan apa yang terjadi di rumah tersebut. Setelah beberapa jam mencari, Arya menemukan sebuah artikel surat kabar kuno yang menarik perhatiannya.
Sumbawa, 1 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H