Langit malam itu tampak kelabu, seolah ikut merasakan beratnya hati Clara. Rintik hujan mulai turun perlahan, membasahi jalanan yang sepi. Clara berjalan sendirian, tanpa payung, membiarkan dingin meresap ke dalam tubuhnya. Langkahnya terasa berat, seiring dengan derasnya air mata yang jatuh tanpa bisa ditahan.
Dia baru saja meninggalkan kafe tempat biasa ia bertemu dengan Aria, seseorang yang selama ini menjadi sandaran hatinya. Namun, malam ini berbeda. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat semuanya terasa tidak sama.
Sudah satu minggu sejak Aria mengirim pesan terakhir, memberitahunya bahwa ia butuh waktu untuk berpikir. Clara tak mengerti, semuanya terasa baik-baik saja hingga saat itu. Namun, kenyataan malam ini menghantamnya seperti badai. Aria tidak datang, dan pesan-pesan Clara tak pernah dibalas.
Setelah berhari-hari menunggu dalam kebimbangan, Clara akhirnya memutuskan untuk datang sendiri ke tempat mereka biasa bertemu. Tapi ia hanya menemukan keheningan, dan kursi di sudut kafe yang kosong.
Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Apakah Aria telah pergi? Apakah ada orang lain? Atau apakah ia melakukan sesuatu yang salah?
Tiba-tiba, dering ponsel memecah kesunyian malam. Clara merogoh tasnya dan melihat nama yang muncul di layar. Aria.
Dengan tangan bergetar, ia mengangkat panggilan itu. "Halo?"
"Clara..."
Suara Aria terdengar lelah, namun ada sesuatu di balik nada suaranya yang membuat Clara cemas. "Aria, kamu di mana? Kenapa nggak datang?"
Ada jeda sebelum Aria menjawab, seakan ia sedang berjuang dengan kata-katanya. "Aku... di rumah sakit."
Hati Clara mencelos. "Apa? Kenapa kamu nggak bilang dari awal?"
"Aku nggak mau kamu khawatir. Tapi... aku nggak bisa terus sembunyi dari kamu."
Clara segera mengubah arah langkahnya, berlari menuju halte terdekat untuk menunggu bus. Selama perjalanan menuju rumah sakit, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Aria baik-baik saja?
Sesampainya di rumah sakit, Clara langsung mencari informasi tentang Aria. Setelah beberapa pertanyaan, ia diarahkan ke kamar tempat Aria dirawat. Dengan napas terengah-engah, ia berdiri di depan pintu kamar itu, tangannya gemetar saat ia membuka pintu.
Di dalam, Aria duduk di atas tempat tidur, wajahnya pucat namun tersenyum ketika melihat Clara masuk. "Hai..."
Clara tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia berlari ke sisi Aria dan memeluknya erat. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Apa yang terjadi?"
Aria mengusap punggung Clara, mencoba menenangkannya. "Aku kena infeksi paru-paru. Aku nggak tahu kalau seberat ini sampai akhirnya aku masuk rumah sakit."
Clara melepaskan pelukannya, menatap Aria dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Kamu nggak perlu hadapi ini sendirian. Aku di sini buat kamu, Aria."
Aria tersenyum, meski matanya menunjukkan keletihan yang mendalam. "Aku tahu, Clara. Tapi aku juga nggak mau kamu ikut terbebani. Kamu punya hidupmu sendiri, mimpi-mimpimu. Aku nggak mau jadi beban."
Clara menggeleng, menolak kata-kata Aria. "Kamu bukan beban, Aria. Kamu bagian dari hidupku. Kita udah banyak melewati segalanya bareng-bareng, dan aku nggak akan ninggalin kamu sekarang."
Air mata menetes di pipi Aria. Ia tak menyangka betapa besar cinta Clara untuknya. "Terima kasih, Clara. Aku benar-benar bersyukur punya kamu."
Hari-hari berikutnya, Clara sering mengunjungi Aria di rumah sakit. Mereka menghabiskan waktu berbicara tentang banyak hal---masa lalu, masa depan, dan segala sesuatu di antaranya. Setiap tawa, setiap senyuman, memberi mereka harapan di tengah cobaan ini.
Suatu hari, saat mereka duduk berdua di tepi jendela rumah sakit, menyaksikan hujan yang turun dengan deras di luar, Aria menggenggam tangan Clara dengan erat. "Aku janji, aku akan sembuh. Kita masih punya banyak hal yang harus kita lakukan bersama. Aku nggak akan menyerah."
Clara mengangguk, menatap mata Aria dengan penuh keyakinan. "Aku percaya sama kamu. Dan aku akan selalu ada di sini, mendampingi kamu."
Dengan dukungan Clara, perlahan Aria mulai membaik. Hari demi hari, ia menunjukkan kemajuan yang signifikan. Clara adalah sumber kekuatannya, yang selalu menyemangati di setiap langkah.
Akhirnya, setelah berminggu-minggu, Aria diizinkan pulang. Mereka kembali ke kafe tempat mereka biasa bertemu, duduk di sudut favorit mereka, di mana segalanya pernah terasa begitu rumit. Namun kali ini, semuanya terasa lebih terang, lebih jelas.
"Terima kasih, Clara, karena nggak pernah ninggalin aku," kata Aria sambil menggenggam tangan Clara erat.
Clara tersenyum, menatap Aria dengan penuh kasih. "Kita sudah melewati banyak hal bersama. Ini hanya awal dari perjalanan kita. Aku nggak sabar melihat apa yang akan datang berikutnya."
Mereka saling menatap dalam diam, merasakan kedalaman cinta yang tak terucap. Hujan masih turun di luar, namun di dalam hati mereka, semuanya terasa hangat dan penuh harapan.Karena bagi mereka, cinta adalah tentang bertahan bersama, apa pun yang terjadi.
Sumbawa, 29 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H