"Aku nggak mau kamu khawatir. Tapi... aku nggak bisa terus sembunyi dari kamu."
Clara segera mengubah arah langkahnya, berlari menuju halte terdekat untuk menunggu bus. Selama perjalanan menuju rumah sakit, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Aria baik-baik saja?
Sesampainya di rumah sakit, Clara langsung mencari informasi tentang Aria. Setelah beberapa pertanyaan, ia diarahkan ke kamar tempat Aria dirawat. Dengan napas terengah-engah, ia berdiri di depan pintu kamar itu, tangannya gemetar saat ia membuka pintu.
Di dalam, Aria duduk di atas tempat tidur, wajahnya pucat namun tersenyum ketika melihat Clara masuk. "Hai..."
Clara tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia berlari ke sisi Aria dan memeluknya erat. "Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Apa yang terjadi?"
Aria mengusap punggung Clara, mencoba menenangkannya. "Aku kena infeksi paru-paru. Aku nggak tahu kalau seberat ini sampai akhirnya aku masuk rumah sakit."
Clara melepaskan pelukannya, menatap Aria dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Kamu nggak perlu hadapi ini sendirian. Aku di sini buat kamu, Aria."
Aria tersenyum, meski matanya menunjukkan keletihan yang mendalam. "Aku tahu, Clara. Tapi aku juga nggak mau kamu ikut terbebani. Kamu punya hidupmu sendiri, mimpi-mimpimu. Aku nggak mau jadi beban."
Clara menggeleng, menolak kata-kata Aria. "Kamu bukan beban, Aria. Kamu bagian dari hidupku. Kita udah banyak melewati segalanya bareng-bareng, dan aku nggak akan ninggalin kamu sekarang."
Air mata menetes di pipi Aria. Ia tak menyangka betapa besar cinta Clara untuknya. "Terima kasih, Clara. Aku benar-benar bersyukur punya kamu."
Hari-hari berikutnya, Clara sering mengunjungi Aria di rumah sakit. Mereka menghabiskan waktu berbicara tentang banyak hal---masa lalu, masa depan, dan segala sesuatu di antaranya. Setiap tawa, setiap senyuman, memberi mereka harapan di tengah cobaan ini.