Mohon tunggu...
MARISA FITRI
MARISA FITRI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya suka menciptakan karya sastra yang memiliki nilai moral seperti cerpen, puisi, diary dan karya sastra lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ibu, Langkahku Karena Do'anya

22 Desember 2024   18:22 Diperbarui: 22 Desember 2024   18:22 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah dusun kecil bernama Kampung Lembayung, tinggallah seorang ibu bernama Rahayu. Wanita itu berusia 38 tahun, tetapi garis-garis di wajahnya membuatnya tampak lebih tua. Beban hidup telah mencuri kemudaannya, tetapi semangatnya tak pernah padam.

Rahayu tinggal bersama dua anaknya, Dewi yang berusia 10 tahun dan Bayu yang berusia 6 tahun. Sang suami, Andika, meninggalkan mereka begitu saja tiga tahun lalu tanpa kabar. Sejak saat itu, Rahayu menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.

Setiap hari, Rahayu bangun saat langit masih gelap. Ia bekerja sebagai pemetik teh di perkebunan yang jaraknya tiga kilometer dari rumah. Ia harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang licin dan berbatu, membawa keranjang besar yang nantinya akan penuh dengan daun-daun teh segar.

Pekerjaannya dimulai pukul lima pagi. Dengan tangan yang terlatih, ia memetik daun teh satu per satu. Terkadang, duri-duri kecil melukai jari-jarinya, tetapi Rahayu tak pernah mengeluh. Ia tahu, setiap helai daun teh yang ia kumpulkan adalah harapan bagi anak-anaknya.

Upahnya tidak besar, hanya cukup untuk membeli beras, lauk sederhana, dan membayar uang sekolah Dewi. Bayu, yang masih kecil, sering ia bawa ke ladang jika tidak ada tetangga yang bisa menjaganya.

Setiap hari, Rahayu bangun saat langit masih gelap. Ia bekerja sebagai pemetik teh di perkebunan yang jaraknya tiga kilometer dari rumah. Ia harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang licin dan berbatu, membawa keranjang besar yang nantinya akan penuh dengan daun-daun teh segar.

Pekerjaannya dimulai pukul lima pagi. Dengan tangan yang terlatih, ia memetik daun teh satu per satu. Terkadang, duri-duri kecil melukai jari-jarinya, tetapi Rahayu tak pernah mengeluh. Ia tahu, setiap helai daun teh yang ia kumpulkan adalah harapan bagi anak-anaknya.

Upahnya tidak besar, hanya cukup untuk membeli beras, lauk sederhana, dan membayar uang sekolah Dewi. Bayu, yang masih kecil, sering ia bawa ke ladang jika tidak ada tetangga yang bisa menjaganya.

Setiap hari, Rahayu bangun saat langit masih gelap. Ia bekerja sebagai pemetik teh di perkebunan yang jaraknya tiga kilometer dari rumah. Ia harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang licin dan berbatu, membawa keranjang besar yang nantinya akan penuh dengan daun-daun teh segar.

Pekerjaannya dimulai pukul lima pagi. Dengan tangan yang terlatih, ia memetik daun teh satu per satu. Terkadang, duri-duri kecil melukai jari-jarinya, tetapi Rahayu tak pernah mengeluh. Ia tahu, setiap helai daun teh yang ia kumpulkan adalah harapan bagi anak-anaknya.

Upahnya tidak besar, hanya cukup untuk membeli beras, lauk sederhana, dan membayar uang sekolah Dewi. Bayu, yang masih kecil, sering ia bawa ke ladang jika tidak ada tetangga yang bisa menjaganya.

Dewi sering bertanya, "Ibu, kenapa kita tidak pernah pergi ke kota seperti keluarga lainnya?"

Rahayu hanya tersenyum sambil menjawab, "Suatu hari nanti, Nak. Ketika ibu sudah cukup uang, kita akan melihat kota bersama-sama."

Namun, dalam hati, ia tahu itu hanyalah angan-angan. Bagaimana mungkin ia bisa membawa anak-anaknya ke kota jika untuk makan saja ia harus berjuang mati-matian?

Rahayu selalu merasa bersalah ketika anak-anaknya meminta sesuatu yang tidak bisa ia berikan. Pernah suatu ketika Dewi ingin sepatu baru untuk sekolah, tetapi Rahayu hanya mampu membelikan sandal jepit. Dewi tidak pernah marah, tetapi Rahayu tahu betapa kecewanya anaknya.

Musim hujan tiba, dan ladang teh menjadi berlumpur. Pekerjaan Rahayu semakin berat. Ia harus bekerja lebih lambat agar tidak terpeleset, tetapi itu berarti jumlah daun teh yang ia petik berkurang. Upahnya semakin sedikit, sementara kebutuhan hidup terus bertambah.

Suatu malam, Bayu tiba-tiba demam tinggi. Tubuhnya menggigil, dan wajahnya pucat. Rahayu panik. Ia tidak punya uang untuk membawa anaknya ke dokter, jadi ia hanya bisa memberinya air hangat dan mengompres keningnya.

Malam itu, Rahayu tidak tidur. Ia duduk di samping Bayu, memanjatkan doa agar anaknya segera sembuh. "Tuhan, jangan ambil anakku. Jika harus ada yang sakit, biarlah itu aku," bisiknya dalam tangis.

Keesokan paginya, demam Bayu mulai reda. Namun, perasaan takut itu masih membekas di hati Rahayu. Ia tahu, ia harus bekerja lebih keras agar anak-anaknya tidak kekurangan.

Suatu hari, seorang pengusaha teh bernama Pak Hadi datang ke perkebunan. Ia memperhatikan Rahayu yang bekerja dengan tekun meskipun hujan turun deras. Kagum dengan semangatnya, Pak Hadi menghampirinya.

"Ibu, apakah Anda pernah berpikir untuk membuka usaha sendiri?" tanya Pak Hadi.

Rahayu tertawa kecil. "Saya tidak punya modal, Pak. Semua uang yang saya dapat hanya cukup untuk makan dan sekolah anak-anak saya."

Pak Hadi tersenyum. Ia menawarkan Rahayu kesempatan untuk menjual teh langsung ke pasar dengan bantuan modal darinya. Awalnya, Rahayu ragu. Tetapi, dorongan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya membuatnya berani mencoba.

Dengan modal yang diberikan Pak Hadi, Rahayu mulai belajar tentang cara mengolah dan mengemas teh. Ia bekerja siang dan malam, tidak hanya di ladang tetapi juga di dapur kecilnya. Teh yang ia buat mulai dikenal karena kualitasnya yang baik dan kemasan sederhana tetapi menarik.

Dalam waktu setahun, Rahayu berhasil mendapatkan pelanggan tetap di pasar desa. Pendapatannya meningkat, dan ia bisa menyimpan sebagian untuk masa depan anak-anaknya.

Dewi akhirnya mendapatkan sepatu baru, dan Bayu bisa makan makanan bergizi. Rahayu juga mulai memikirkan untuk merenovasi rumah kecilnya yang selama ini sering bocor saat hujan.

Kini, Rahayu tidak lagi bekerja sebagai buruh pemetik teh. Ia memiliki usaha sendiri, yang meskipun sederhana, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Anak-anaknya tumbuh dengan penuh cinta dan rasa syukur, karena mereka tahu semua yang mereka miliki adalah hasil dari jerih dan peluh ibunya.

Suatu malam, ketika mereka duduk bersama di teras rumah, Dewi memeluk ibunya dan berkata, "Bu, aku ingin jadi seperti Ibu ketika besar nanti. Ibu adalah pahlawan terbaik di hidupku."

Air mata Rahayu mengalir. Baginya, semua jerih payahnya sepadan ketika ia melihat senyuman bahagia di wajah anak-anaknya.

Sumbawa, 22 Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun