Mohon tunggu...
Abi Wihan
Abi Wihan Mohon Tunggu... Guru - Teacher

A Great Teacher is Inspiring

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jam Tangan

28 Desember 2024   22:31 Diperbarui: 28 Desember 2024   22:31 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JAM TANGAN

Jangan biarkan dunia mendikte nilai dari apa yang Anda kenakan. Fokuslah pada fungsi dan makna, bukan sekadar penampilan. Pilihan Anda mencerminkan siapa Anda, bukan apa yang orang lain ingin lihat

Jam tangan bukan sekadar penunjuk waktu, tetapi pengingat bahwa setiap detik adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik

Memakai jam tangan sudah menjadi kebiasaan saya. Jika tidak memakai jam tangan, rasanya seperti ada yang kurang, karena benda ini sudah menjadi kebutuhan bagi saya. Jam tangan yang saya kenakan pun sederhana, jauh dari kata mahal. Selain menyesuaikan dengan kemampuan finansial, saya memilihnya karena kebutuhan dasar untuk melihat waktu. Jam tangan yang saya pakai jarang berganti, dan jika rusak pun, saya lebih memilih memperbaikinya daripada membeli yang baru.

Di sisi lain, jam tangan memiliki makna yang lebih dalam bagi banyak orang. Bagi sebagian orang, jam tangan adalah simbol kedisiplinan dan tanggung jawab. Dengan mengenakan jam tangan, mereka merasa lebih terorganisir dan memiliki kendali atas waktu mereka. Jam tangan juga sering kali menjadi bagian dari rutinitas harian yang membuat seseorang merasa "siap" menghadapi aktivitas sepanjang hari.

Namun, di era digital saat ini, fungsi jam tangan sebagai penunjuk waktu bisa dibilang telah tergantikan oleh ponsel dan perangkat elektronik lainnya. Meski demikian, popularitas jam tangan tidak berkurang---malah justru meningkat, terutama di kalangan pecinta fashion dan kolektor. Ini menunjukkan bahwa jam tangan bukan lagi sekadar alat untuk mengetahui waktu, melainkan juga menjadi elemen gaya hidup yang mencerminkan kepribadian dan selera seseorang.

Namun, fenomena lain yang menarik adalah kecenderungan sebagian orang untuk membeli jam tangan mahal, bahkan memiliki koleksi dengan berbagai model dan merek. Kita sering bertanya-tanya, apakah ini benar-benar kebutuhan, atau hanya sekadar cara untuk menunjukkan status sosial? Di sinilah pentingnya memahami kembali esensi jam tangan---sebagai alat fungsional, simbol gaya, atau bahkan sebagai simbol status.

Pada awalnya, jam tangan diciptakan untuk satu tujuan utama: menunjukkan waktu. Dalam keseharian yang serba cepat, mengetahui waktu dengan mudah dan praktis adalah sebuah kebutuhan. Namun, seiring waktu, jam tangan berkembang menjadi lebih dari sekadar alat penunjuk waktu---ia menjadi simbol gaya, status sosial, bahkan identitas diri.

Pertanyaan yang sering muncul adalah: mengapa kita membeli jam tangan mahal, bahkan sangat mahal, jika fungsi dasarnya sama saja, yakni menunjukkan waktu? Jawabannya sering kali terletak pada nilai di luar fungsi. Jam tangan mahal biasanya terbuat dari material berkualitas tinggi seperti emas, perak, atau berlian, serta diproduksi dengan teknologi canggih dan desain yang presisi. Bagi sebagian orang, memiliki jam tangan mahal adalah bentuk apresiasi terhadap seni dan keterampilan pembuatannya.

Namun, tidak sedikit pula yang membeli jam tangan mahal untuk alasan yang lebih subjektif, seperti ingin menunjukkan status sosial atau mengikuti tren fashion. Di sini, jam tangan berubah fungsi menjadi "simbol"---baik simbol kesuksesan, gaya hidup, maupun upaya membangun kepercayaan diri.

Ironisnya, fungsi utama jam tangan sebagai penunjuk waktu sering kali terabaikan. Di era digital, kita dapat dengan mudah mengetahui waktu melalui ponsel, komputer, atau perangkat elektronik lainnya. Lalu, apakah masih relevan memakai jam tangan, terutama yang mahal?

Di sinilah refleksi perlu dilakukan. Memiliki lebih dari satu jam tangan mahal hanya untuk menyesuaikan dengan pakaian bisa dianggap berlebihan jika tidak didasarkan pada kebutuhan yang rasional. Pola konsumsi seperti ini sering kali lebih didorong oleh gaya hidup konsumtif daripada kebutuhan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun