Mohon tunggu...
Abi Wihan
Abi Wihan Mohon Tunggu... Guru - Teacher

A Great Teacher is Inspiring

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sindiran di Balik Meja Kantor

20 November 2024   16:51 Diperbarui: 20 November 2024   17:09 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sindiran di Balik Meja Kantor

Di ruangan kantor yang tak terlalu luas, Rina duduk sambil mengetik di komputer, sesekali menghela napas panjang. Sejak beberapa bulan terakhir, suasana di kantor berubah. Bukan karena pekerjaan yang bertambah banyak, melainkan karena kehadiran sosok rekan kerja yang selalu membuat hatinya gusar: Nita.

Nita dikenal sebagai karyawan yang cerdas dan cekatan, tetapi sayangnya ia memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka menyindir. Sindirannya sering kali dilontarkan dengan senyum kecil yang tampak manis, tetapi tajam seperti sembilu. Rina, entah kenapa, menjadi salah satu target favoritnya.

"Bagus, ya. Ada yang bisa santai-santai sambil menyeruput kopi, sementara yang lain bekerja sampai larut malam," ujar Nita suatu pagi, tepat ketika Rina baru saja tiba di kantor.

Rina hanya tersenyum kecil, meskipun hatinya mendidih. Ia tahu sindiran itu ditujukan padanya. Padahal, kemarin ia lembur sampai pukul sembilan malam untuk menyelesaikan laporan bulanan.

Di lain waktu, sindiran Nita kembali muncul. Ketika Rina mendapat pujian dari manajer karena hasil presentasinya yang memukau, Nita berkata, "Wah, luar biasa, ya. Kalau semua dikerjakan dengan tim yang membantu, siapa pun pasti bisa berhasil." Kalimat itu membuat suasana yang semula ceria menjadi sedikit tegang.

Awalnya, Rina memilih untuk diam. Ia berpikir, mungkin Nita hanya bercanda atau sedang dalam suasana hati yang buruk. Namun, semakin lama, sindiran itu semakin sering muncul. Tak hanya menyakitkan, tetapi juga membuat Rina merasa tidak percaya diri. Ia mulai meragukan kemampuannya sendiri.

"Sampai kapan aku harus begini?" Rina merenung suatu malam. Ia berbicara dengan suaminya yang mencoba memberikan dukungan. "Kamu harus bicara, Rin. Kalau dibiarkan, situasinya tidak akan berubah," ujar suaminya, meyakinkan.

Malam itu, Rina bertekad untuk menghadapi Nita dengan cara yang bijaksana.

Keesokan harinya, Rina menunggu waktu yang tepat untuk mengajak Nita bicara. Setelah jam makan siang, ia menghampiri Nita di meja kerjanya.

"Nit, ada waktu sebentar? Aku ingin bicara," kata Rina dengan nada lembut. Nita mengangguk, meskipun raut wajahnya sedikit terkejut.

Di ruang kecil yang biasanya digunakan untuk rapat, Rina memulai pembicaraan dengan hati-hati. "Nit, aku mau jujur. Beberapa waktu terakhir, aku merasa terganggu dengan beberapa ucapanmu. Mungkin maksudmu bercanda, tapi kadang aku merasa tersindir dan itu membuatku tidak nyaman."

Nita terdiam sejenak, tampak bingung. "Maksudmu aku menyindir? Aku nggak bermaksud begitu, Rin," jawabnya.

Rina tersenyum kecil. "Aku tahu mungkin tidak ada niat buruk, tapi aku hanya ingin kita punya komunikasi yang lebih baik. Kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan, aku lebih suka kalau kita bicara langsung, daripada melalui sindiran."

Nita mengangguk pelan. "Aku nggak sadar kalau itu membuatmu merasa seperti itu. Maaf ya, Rin. Aku akan lebih hati-hati mulai sekarang."

Sejak pembicaraan itu, perlahan suasana di kantor berubah. Nita mulai mengurangi kebiasaannya menyindir, dan hubungan antara keduanya menjadi lebih baik. Meskipun tidak mudah, Rina merasa lega karena sudah mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang dewasa.

Kadang-kadang, Nita masih tergoda untuk menyindir, tetapi Rina segera menangkap maksudnya dan menanggapinya dengan humor. Keduanya bahkan mulai saling mendukung dalam beberapa proyek besar, menciptakan dinamika kerja yang lebih sehat.

Rina belajar satu hal penting: berbicara langsung dengan hati dan kepala dingin jauh lebih efektif daripada memendam rasa sakit sendirian. Dalam setiap hubungan, baik di tempat kerja maupun di luar, keberanian untuk berbicara dengan jujur adalah kunci untuk menciptakan harmoni.

"Di tempat kerja, konflik pasti ada. Tapi bagaimana kita menanganinya adalah yang membuat perbedaan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun