Di pantai sunyi, di bawah sinar mentari terbenam,
Tersembunyi kisah anak yang hilang,
Malin Kundang, namanya tersohor,
Namun kini, dikenang dengan kisah yang malang.
Pergi merantau, mengejar mimpi besar,
Meninggalkan ibu dengan hati penuh harap,
Di tanah jauh, ia temukan kemewahan,
Namun lupa, akar tempat ia bernaung.
Harta berlimpah, kuasa di genggaman,
Namun hati yang pernah lembut, kini keras,
Ketika kembali, ibu yang setia menunggu,
Tak dikenalnya, dihinanya tanpa rasa.
Air mata ibu jatuh di pasir pantai,
Doa kesedihan menggema di langit kelam,
Kutukan terucap dari hati yang terluka,
Malin Kundang menjadi batu, bekukan kenangan.
Kini, di pantai itu berdiri,
Patung batu seorang anak yang durhaka,
Mengingatkan kita akan kasih ibu yang abadi,
Dan dosa melupakan cinta yang sejati.
Malin Kundang, yang malang dan terlupakan,
Mengajarkan kita tentang penyesalan,
Harta dan kuasa tak berarti apa-apa,
Tanpa cinta dan bakti pada mereka yang tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H