Mohon tunggu...
Alif Muhammad
Alif Muhammad Mohon Tunggu... Editor - Blogger dan Traveller

Menulis dan travelling adalah bagian dari kegiatan sehari-hari. #PenyukaKopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hari Terakhir

25 November 2022   10:28 Diperbarui: 4 Desember 2022   12:04 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://cdn-2.tstatic.net/belitung

Tiga hari adalah waktu aku berada di sisinya. Tak jauh darinya, menyaksikan kelebat maut dalam sekujur tubuh yang lunglai selunglai-lunglainya. Tubuh yang makin hari makin menyedihkan. Tubuh yang kian menyusut dan makin kentara menampilkan garis-garis kemerosotannya. Maut itu juga berkelebat dalam keluhnya yang kadang keras, lalu melemah.

Kadang aku menyaksikannya dalam getaran tubuhnya yang kian tak terkendali. Tangannya yang sebelah kiri, bergerak-gerak seakan hendak menggapai-gapai sesuatu. Kadang ia hendak menggapai pagar di sisi ranjang tidurnya. Ia ingin membalikkan tubuhnya. Tapi tiap kali usahanya gagal: gerak tangannya itu tak menggapai sesuatu apapun. Hingga aku harus mengarahkan tangan itu pada tepi pagar ranjang. Barulah ia bisa mengubah posisi tidurnya dari terlentang ke arah lain, miring.

Tapi tangan itu begitu sering bergerak sendiri tanpa hendak menggapai sesuatu. Gerak itu seringkali diiringi oleh rasa sakitnya. Tapi ia nyaris tak pernah mengeluh. Dan tak seorang pun mengenali saat ia merasa sakit kecuali air mata yang tiba-tiba menggenang dan tumpah, melewati garis-garis tua di antara pipinya. Air mata itu, jugan tangan yang terus bergerak-gerak tak terkendali, menjadi saksi bisu paling jujur yang mengabarkan rasa sakit yang menjalari tubuhnya.

***

"Nak, kapan pulang?"

Aku tak menyangka kalimat yang terdengar dari nokia bututnya itu jadi kalimat terakhir. Sejak itu, ia tak lagi bertanya. Atau mungkin saja, tubuhnya yang kian tak terkendali dihantam penyakit yang bikin ia tak lagi dapat mengucapkan kalimat itu dengan jelas.

"Pulanglah", begitu kalimat pendek dari bapak, saudara nenek, dan kakak tertuaku. Dan perintah singkat itu diiringi dengan sejenis kekhawatiran tentang kematian. Sempat ada harapan: ia akan baik-baik saja. Tubuhnya yang terkapar perlahan akan bisa bangkit berdiri lagi. Perlahan sembuh. Keluarga berharap ia hanya didera oleh rasa rindu yang begitu dalam hingga menjelma rasa sakit.

Harapan itu datang berganti-bergantian dengan rasa takut: ia akan sembuh. Pasti. Oh tidak, ia akan... oh ia hanya menunggu waktu. Maka sepanjang jalan pulang, aku dipermainkan oleh dua hal itu: kematian atau kehidupan. Tak ada kepastian di antara keduanya. Betapa pun kuatnya aku berharap pada yang pertama, kehidupan, tapi tetap saja aku tak dapat mengesampikan yang terakhir, kematian.

***

15 hari ia bertahan, tepatnya menahan rasa sakit yang tak dapat dihindarinya. Sebelum kami pindahkan ke kamarnya sendiri, ia terkapar di rumah saudaranya. Saat aku datang, matanya menatapku. Ia masih mengenalku. Tak ada ekspresi. Tak ada senyum. Datar saja. Seperti tatapan kosong. Kulit wajahnya terlihat tegang. Meski begitu, aku senang ia masih bisa mengenaliku. Melalui bibirnya, ia menyebut namaku. Ia tak lagi bisa berucap dengan lancar.

"Aku menjatuhkanmu, nak. Kau marah, nak. Hendak membunuhku", ceracaunya sekali waktu. Sejak itu, aku berkesimpulan ia tak lagi bisa berbicara dengan benar. Di mataku, ia sudah tak bisa membedakan yang 'nyata' dan 'mimpi'. Aku menganggap tiap ucapannya adalah ceracau tentang dunia yang tak bisa kami tangkap dengan benar.

"Di mana dia? Bukannya dari tadi mondar-mandir di sini", katanya menyebut seseorang yang tak ku kenal dan aku yakin pasti bahwa tak ada seorang pun yang mondar-mandir di tempat ini kecuali aku seorang diri.

"Nama-nama itu adalah tetangga kita", kata nenek tertua sekali waktu saat ia juga mendengar adiknya menceracaukan nama-nama itu.

"Mereka datang ke sini?"

"Tidak. Mereka sudah meninggal".

"Dia menunjuk tembok ini, dan bilang ada ulat begitu banyak yang menempel di dinding ini", kata nenek termuda sembari menunjuk pada tembok yang bersih, tak ada ulat.

Aku menyebutnya gejala halusinasi. Keluarga yang lain berpikir tentang tanda-tanda: orang-orang yang sedang sekarat bisa melihat hal-hal yang tak bisa dilihat oleh orang-orang yang sehat.

"Dia tidak akan lama lagi".

"Dia hanya menunggu harinya. Hari apa nenek lahir?", tanya kakakku.

"Senin".

***

Bukan hari senin, tapi Rabu sore.

Dua hari sebelumnya, senin sore, ia tak lagi bisa berjalan ke kamar mandi. Dipapah sekali pun. Ia pun tak bisa duduk tanpa bersandar kepadaku, atau pada tumpukan bantal yang bersandar pada tembok di tepi timur sisi ranjang. Pada selasa pagi, nafasnya begitu keras. Aku mendengar seperti seseorang yang tertidur pulas dengan dengkur yang keras. Aku yang tak pernah mengalami situasi itu, tak mengerti isyarat itu.

"Nek bangun".

Aku bantu ia untuk duduk, dan sesekali ia berbatuk sebelum kemudian mendengkur lagi. Dengkur macam apa ini? Dengan wajah yang semakin tegang, dan mata terbuka, tapi tatapan kosong? Dengan mulut yang keras.

Dari pintu, ayahku masuk. Melihat kepadaku sebentar, dan sebentar memeriksa nenek. Ia keluar lagi dan tak lama, orang-orang datang. Nenek digotong ke tempat yang lebih leluasa. Orang-orang segera ramai mengelilingi. Dalam beberapa menit kemudian, lantunan surat yasin berkumandang. Sebagian yang lain melantunkan lafadz "Allah, Allah, Allah", dekat telinga nenek.

Aku ikut membaca yasin, dengan suara yang lirih, dan tertunduk.

***

Rabu sore. Kurang lebih jam 17. Aku tak tahu persis menit ke berapa. Nafasnya lirih. Makin lirih. Orang-orang kembali ramai seperti Selasa pagi. Mereka melantunkan surah yasin dan lafadz Allah-Allah-Allah kembali diperdengarkan tepat di dekat telinganya.

Aku sendiri datang pada saat lantunan yasin berbarengan dengan pecahnya tangis orang-orang. Raga yang dikelilingi orang-orang itu sudah tak mengeluhkan rasa sakit lagi. Mata yang terbuka dengan tatap kosong itu sudah tertutup.

Untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun