Dua hari sebelumnya, senin sore, ia tak lagi bisa berjalan ke kamar mandi. Dipapah sekali pun. Ia pun tak bisa duduk tanpa bersandar kepadaku, atau pada tumpukan bantal yang bersandar pada tembok di tepi timur sisi ranjang. Pada selasa pagi, nafasnya begitu keras. Aku mendengar seperti seseorang yang tertidur pulas dengan dengkur yang keras. Aku yang tak pernah mengalami situasi itu, tak mengerti isyarat itu.
"Nek bangun".
Aku bantu ia untuk duduk, dan sesekali ia berbatuk sebelum kemudian mendengkur lagi. Dengkur macam apa ini? Dengan wajah yang semakin tegang, dan mata terbuka, tapi tatapan kosong? Dengan mulut yang keras.
Dari pintu, ayahku masuk. Melihat kepadaku sebentar, dan sebentar memeriksa nenek. Ia keluar lagi dan tak lama, orang-orang datang. Nenek digotong ke tempat yang lebih leluasa. Orang-orang segera ramai mengelilingi. Dalam beberapa menit kemudian, lantunan surat yasin berkumandang. Sebagian yang lain melantunkan lafadz "Allah, Allah, Allah", dekat telinga nenek.
Aku ikut membaca yasin, dengan suara yang lirih, dan tertunduk.
***
Rabu sore. Kurang lebih jam 17. Aku tak tahu persis menit ke berapa. Nafasnya lirih. Makin lirih. Orang-orang kembali ramai seperti Selasa pagi. Mereka melantunkan surah yasin dan lafadz Allah-Allah-Allah kembali diperdengarkan tepat di dekat telinganya.
Aku sendiri datang pada saat lantunan yasin berbarengan dengan pecahnya tangis orang-orang. Raga yang dikelilingi orang-orang itu sudah tak mengeluhkan rasa sakit lagi. Mata yang terbuka dengan tatap kosong itu sudah tertutup.
Untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H