Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merefleksikan Kembali Budaya Literasi Kuno

4 Agustus 2017   12:40 Diperbarui: 4 Agustus 2017   16:14 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Salah satu hal yang penulis tunggu-tunggu ketika menginjak bangku sekolah adalah ketika bulan bahasa datang. Sebagai anak muda yang mempunyai motivasi khusus terhadap bahan bacaan, penulis menanti-nantikan kegiatan yang diadakan secara rutin setiap tahun selama sebulan, yakni silent reading. 

Dalam kegiatan tersebut, kami bersama-sama meluangkan waktu kurang lebih 30 menit dan bersatu dalam keheningan untuk membaca buku-buku kami. Betapa menariknya, setengah jam setiap hari, kompak kami menempatkan diri kami sebagai 'jamaah pengonsumsi informasi'. Tidak ada pemandangan yang lebih baik dari itu. Guru, sebagai fasilitator menaruh kebebasan bagi penulis dan siswa lainnya untuk meilih buku yang kami suka.

Di samping silent reading, juga terdapat aktivitas mengliping yang juga meluangkan panjang durasi yang sama. Penulis terlebih tentu juga menyukainya. Disini kami membaca sejumlah berita dari rubrik tertentu, dari surat kabar tertentu, kemudian mengguntingnya dan menempelkannya secara rapi, lalu dilampirkan tanggapan dan refleksi kami mengenai pilihan berita-berita tersebut. 

Genap sudah, satu jam jatah pelajaran reguler kami terpakai secara lebih berguna, ketimbang mengisinya dengan kekantukan dan keganduhan angin pagi jam pelajaran pertama. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kliping merupakan kata kerja serapan dengan kata dasar 'klip', yang bermakna alat untuk menjepit lembaran kertas menjadi satu. 

Jika lembaran kertas dianalogikan sebagai butir-butir informasi, maka penulis secara subjektif mendefinisikan kliping sejatinya adalah tentang menyatukan butir-butir informasi tersebut sebagai satu kesatuan produk baca yang mengasyikan dan mengunggah pikiran.

Namun sangat disayangkan budaya nan literatif tersebut terhenti begitu saja ketika dinamika Sekolah Menengah Atas sudah didepan mata penulis. Tepat lima tahun lalu, penulis mengingatnya, kapan terakhir penulis mengkliping (sayangnya tidak dengan berita terakhir yang penulis klipingkan). 

Seakan tiba-tiba perasaan penulis ingin sekali dibawa kembali kepada semua ingatan tersebut, penulis akhirnya berinisiatif diri untuk kembali melakukan hal serupa selama liburan perkuliahan tahun ini. Paling tidak, selain mengobati kerinduan, penulis juga berharap ini dapat membayar ketidaksempatan penulis untuk menimbrungi surat kabar selama perkuliahan oleh karena desakan tugas dan sebagainya.

Sempat tersarang dipikiran penulis. Apakah budaya kliping masih dapat bertahan? Suatu pertanyaan yang mengakaji persoalan sepele, namun cukup krusial untuk Indonesia yang masih tergolong perlu banyak belajar dalam hal melek informasi. Titik berat daripada tantangan langsung dalam dunia pendidikan Indonesia adalah pada bagian masa transisinya. 

Transisi dari budaya belajar tradisional menuju yang modern. Di satu sisi, hal tersebut merupakan konsekuensi langsung dari digitalisasi informasi. Ketika dunia teknologi semakin menjamin penuh keberlimpahan dan kebebasan berinformasi, budaya pengolahan dan dokumentasi pengetahuan serta informasi yang kuno dan tidak efisien seperti pengklipingan sendiri mulai ditinggalkan.

Namun di sisi lain, perlu upaya adaptasi yang kompeten dari sisi para pelaku dan penikmat digitalisasi informasi tersebut. Adapatasi yang kompeten yang penulis maksud adalah bicara tentang budaya literasi. Artinya bahwa proses transisi model belajar ujung-ujungnya akan menuntut adaptasi literasi informasi sesuai dengan bahan petimbangan yang sama, yakni kehadiran internet dan teknologi, sehingga akan koheren dengn tuntutan perubahan jaman yang ada. Disinilah modernisasi literasi terjadi. 

Paradigma ketidakterbatasan pengolahan dan pengaksesan informasi yang tidak dituntut dengan pengkayaan kapasitas pengetahuan diri hanya akan membawa generasi Z pada sebuah jurang kesesatan. Maka, modernisasi literasi jelas adalah ikthiar yang diperlukan. Kira-kita begini gambaran konsekuensi yang ditanggung ketika modernisasi literasi tidak ditanam, dapat dilihat pada bagian yang ditebalkan dari paragraf berikut : 

Berbalik pada apa yang penulis sampaikan pada artikel sebelumnya, bahwa berbicara tentang kualitas informasi tidak melulu soal bagaimana informasi tersebut dapat bersifat informatif. Tetapi, juga soal bagaimana mereka menciptakan penafsiran; persepsi dari masyarakat yang mengonsumsi informasi tersebut. Sudut pandang masyarakat dalam melihat realitas disekitarnya dipengaruhi betul oleh kontak mereka dengan konten dari informasi yang mereka tanamkan dalam pikiran mereka.

Jika informasi tersebut benar, faktual, verifikatif dan independen, maka dia akan mengarahkan pengonsumsinya menuju tapak pengetahuan yang benar. Jika informasi tersebut bermotif kepentingan pribadi, kental akan kepalsuan dan pemojokan, di sinilah penafsiran yang keliru akan muncul. Situsi paling berbahaya adalah ketika kekeliruan penafsiran tersebut mewabahi pikiran orang dalam jumlah yang banyak. Dunia akan dipenuhi dengan ketidakpastian dan kegelisahan, lalu disinilah semakin dirasakan hoaks pelan-pelan meruntuhkan intelektualitas bangsa.

Sebagai kaum yang sejak kecil sudah menyambut kehadiran teknologi, generasi Z adalah pihak-pihak yang paling berpotensi untuk menjadi korban daripada fenomena kemiskinan kredibilitas informasi semacam itu. Maka diperlukan penanaman tentang betapa pentingnya budaya literasi, dengan penyesuaian konteks perubahan jaman yang ada. 

Dalam beberapa kehidupan akademik institusi pendidikan dan perguruan tinggi, sudah ditemukan bukti konkrit dari implementasi hal tersebut. Dimana, siswa dan mahasiswa diajarkan tentang bagaimana untuk mampu menggunakan internet sedemikian rupa sebagai fasilitator tatap muka yang mewadahi pembekalan kekritisan berinformasi.

Namun, tetap ditemukannya rambu ketidakefektifan dari teknik tersebut menjadi permasalahan disini. Viralnya internet membuat pendidikan literasi yang ada pada masa kini hanya diorientasikan pada kecepatan, keefektifan dan kepraktisan dalam berinformasi. Dengan kata lain, secara kasar modernisasi literasi tidak seterusnya menjadi kompatibel dengan perkembangan masa, di mana, generasi milenial memang siap akan kedatangan internet, namun kurang siap untuk menggunakannya dengan cara dan tujuan yang lebih baik dari pada sekadar bermedia sosial, berhibur dan berhobi. Jika dilihat dari perspektif lain, modernisasi literasi justru juga mampu menghilangkan esensi awal dari sebuah 'kecakapan literasi' itu sendiri, yakni penajaman daya kognitif terhadap suatu informasi.

Penulis rasa, yang diperlukan saat ini adalah merenungkan kembali budaya literatif lama kita, yakni mengkliping. Pada umumnya, dalam kegiatan tersebut, siapapun yang terlibat diwajibkan untuk memilah berita dari suatu surat kabar, kemudian mengguntingnya dan menempelkannya disebuah wadah kertas tersendiri. 

Tidak melulu harus berita baru, berita lawas pun boleh. Bahkan dengan cara yang mengejutkan berita lawas justru lebih menarik minat karena kaya akan simpanan pembelajaran masa lalu didalamnya. Maka tak heran dalam konteks ini penulis cenderung meninggikan pengklipingan sebagai pelakon sejarah yang sesungguhnya.                

Apakah berhenti sampai di situ? Tentu tidak. Mengkliping tidak terbatas tentang gunting menggunting dan tempel menempel. Memilih dan merangkai berita tanpa motivasi dan keterampilan adalah nol belaka. Dengan kata lain, tuntutan sesungguhnya dari partisipan pengklipingan adalah memilah, membaca, memahami, mendalami, dan mengkritisi berita-berita yang mereka pilih. 

Kelima variabel itulah, bibit-bibit manfaat yang sebenarnya dari mengonsumsi 'keaslian informasi' akan muncul. Mengapa? Karena ada keterlibatan langsung, antara kognitif kita dengan konten-konten informasi surat kabar sebagai wadah sumber informasi yang masih bisa dipercaya dan diandalkan aspek kebenaran dan aktualitas berita-beritanya. 

Konsumsi informasi dari sumber yang terpercaya seperti demikian akan menuntun kita kedalam persepsi yang benar, tanpa sedikitpun kebohongan. Maka, tentu akan lebih baik jika konsumsi informasi tersebut sedikit dimodifikasi dengan cara yang baru dan berbeda, yakni mengkliping itu sendiri.  

Belum lagi dalam kasus tertentu, ketika setelah seseorang mengkliping kemudian lahir sensasi ketertarikan untuk melirik koherensivitas antara berita yang satu dengan yang lainnya yang dipilih, lalu bertransformasi menjadi keingintahuan untuk 'menemukan suatu kebenaran yang lebih' dari isu yang dibahas dalam berita mereka. Itu akan semakin mengukir kekritisan pola pikir dan sudut pandang mereka dalam melihat dan menanggapi segala bahasan. Disinilah, penulis yakin potensi gejala buruk hoax akan pergi jauh.

Di samping itu, mengkliping bahkan lebih dari itu. Banyak aspek yang dapat kita gali dari aktivitas mengkliping sendiri, tak terkecuali yang berkaitan dengan unsur estetika. Senada dengan apa yang dipaparkan oleh Rony K. Pratama dalam artikel opini harian Kompas 15 Juli 2017, bahwa mengkliping juga merupakan bagian dari seni. 

Diperlukan kelantipan hati agar syarat keindahan juga terpenuhi. Penulis sendiri pun sejalan dengan hal itu. Ketika kita mengerjakan segala sesuatu dengan bertatap pada keindahan --tak terkecuali mengkliping- secara tidak langsung kita menempatkan motivasi dan kesenangan personal kita kepada siapapun yang membaca.

Yang ingin penulis berusaha sampaikan di sini ialah, ketika generasi jaman sekarang kurang betah menjajaki adaptasi cara baru dalam berliterasi masa kini, maka adalah hal yang tepat untuk kiranya menengok kembali kebiasaan para pendahulu, mengkliping. Setidaknya dengan menyambut kembali budaya kliping dalam hidup kita, kita akan kembali menemukan apa tujuan awal sesungguhnya dari berinformasi yang benar, bahwa modernisasi tidak selamanya membatasi literasi hanya pada bagaimana secara instan kita bertindak-tanduk dalam dunia virtual, tetapi juga bagaimana kita memberikan nilai produktifitas yang lebih dalam memperkaya kapasitas pengetahuan, yang salah satunya adalah melalui budaya kuno mengkliping itu sendiri, karena mengkliping merepresentasikan aktivitas pendokumentasian pengetahuan.

Mengkliping akan membawa kita pada potret pembelajaran masa lalu, sekaligus membuka pikiran kita pada jalan kesempatan akan prediksi realitas dan pengetahuan baru di masa yang akan datang.

Daftar Pustaka :

Pratama, Rony K. LITERASI DAN PELAJARAN KLIPING. Kompas, edisi 15 Juli 2017.

www.kbbi.web.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun