Berbalik pada apa yang penulis sampaikan pada artikel sebelumnya, bahwa berbicara tentang kualitas informasi tidak melulu soal bagaimana informasi tersebut dapat bersifat informatif. Tetapi, juga soal bagaimana mereka menciptakan penafsiran; persepsi dari masyarakat yang mengonsumsi informasi tersebut. Sudut pandang masyarakat dalam melihat realitas disekitarnya dipengaruhi betul oleh kontak mereka dengan konten dari informasi yang mereka tanamkan dalam pikiran mereka.
Jika informasi tersebut benar, faktual, verifikatif dan independen, maka dia akan mengarahkan pengonsumsinya menuju tapak pengetahuan yang benar. Jika informasi tersebut bermotif kepentingan pribadi, kental akan kepalsuan dan pemojokan, di sinilah penafsiran yang keliru akan muncul. Situsi paling berbahaya adalah ketika kekeliruan penafsiran tersebut mewabahi pikiran orang dalam jumlah yang banyak. Dunia akan dipenuhi dengan ketidakpastian dan kegelisahan, lalu disinilah semakin dirasakan hoaks pelan-pelan meruntuhkan intelektualitas bangsa.
Sebagai kaum yang sejak kecil sudah menyambut kehadiran teknologi, generasi Z adalah pihak-pihak yang paling berpotensi untuk menjadi korban daripada fenomena kemiskinan kredibilitas informasi semacam itu. Maka diperlukan penanaman tentang betapa pentingnya budaya literasi, dengan penyesuaian konteks perubahan jaman yang ada.Â
Dalam beberapa kehidupan akademik institusi pendidikan dan perguruan tinggi, sudah ditemukan bukti konkrit dari implementasi hal tersebut. Dimana, siswa dan mahasiswa diajarkan tentang bagaimana untuk mampu menggunakan internet sedemikian rupa sebagai fasilitator tatap muka yang mewadahi pembekalan kekritisan berinformasi.
Namun, tetap ditemukannya rambu ketidakefektifan dari teknik tersebut menjadi permasalahan disini. Viralnya internet membuat pendidikan literasi yang ada pada masa kini hanya diorientasikan pada kecepatan, keefektifan dan kepraktisan dalam berinformasi. Dengan kata lain, secara kasar modernisasi literasi tidak seterusnya menjadi kompatibel dengan perkembangan masa, di mana, generasi milenial memang siap akan kedatangan internet, namun kurang siap untuk menggunakannya dengan cara dan tujuan yang lebih baik dari pada sekadar bermedia sosial, berhibur dan berhobi. Jika dilihat dari perspektif lain, modernisasi literasi justru juga mampu menghilangkan esensi awal dari sebuah 'kecakapan literasi' itu sendiri, yakni penajaman daya kognitif terhadap suatu informasi.
Penulis rasa, yang diperlukan saat ini adalah merenungkan kembali budaya literatif lama kita, yakni mengkliping. Pada umumnya, dalam kegiatan tersebut, siapapun yang terlibat diwajibkan untuk memilah berita dari suatu surat kabar, kemudian mengguntingnya dan menempelkannya disebuah wadah kertas tersendiri.Â
Tidak melulu harus berita baru, berita lawas pun boleh. Bahkan dengan cara yang mengejutkan berita lawas justru lebih menarik minat karena kaya akan simpanan pembelajaran masa lalu didalamnya. Maka tak heran dalam konteks ini penulis cenderung meninggikan pengklipingan sebagai pelakon sejarah yang sesungguhnya. Â Â Â Â Â Â Â Â
Apakah berhenti sampai di situ? Tentu tidak. Mengkliping tidak terbatas tentang gunting menggunting dan tempel menempel. Memilih dan merangkai berita tanpa motivasi dan keterampilan adalah nol belaka. Dengan kata lain, tuntutan sesungguhnya dari partisipan pengklipingan adalah memilah, membaca, memahami, mendalami, dan mengkritisi berita-berita yang mereka pilih.Â
Kelima variabel itulah, bibit-bibit manfaat yang sebenarnya dari mengonsumsi 'keaslian informasi' akan muncul. Mengapa? Karena ada keterlibatan langsung, antara kognitif kita dengan konten-konten informasi surat kabar sebagai wadah sumber informasi yang masih bisa dipercaya dan diandalkan aspek kebenaran dan aktualitas berita-beritanya.Â
Konsumsi informasi dari sumber yang terpercaya seperti demikian akan menuntun kita kedalam persepsi yang benar, tanpa sedikitpun kebohongan. Maka, tentu akan lebih baik jika konsumsi informasi tersebut sedikit dimodifikasi dengan cara yang baru dan berbeda, yakni mengkliping itu sendiri. Â
Belum lagi dalam kasus tertentu, ketika setelah seseorang mengkliping kemudian lahir sensasi ketertarikan untuk melirik koherensivitas antara berita yang satu dengan yang lainnya yang dipilih, lalu bertransformasi menjadi keingintahuan untuk 'menemukan suatu kebenaran yang lebih' dari isu yang dibahas dalam berita mereka. Itu akan semakin mengukir kekritisan pola pikir dan sudut pandang mereka dalam melihat dan menanggapi segala bahasan. Disinilah, penulis yakin potensi gejala buruk hoax akan pergi jauh.