Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlunya Rekonstruksi Sudut Pandang Masyarakat Tentang SMA

26 Juli 2017   22:36 Diperbarui: 26 Juli 2017   23:07 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disatu sisi, Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi semacam fasilitator hidup yang menjembatani inshan muda menuju tanggung jawab kedewasaan yang sesungguhnya ; dimana didalamnya mereka akan belajar untuk mengukir kepribadiannya, menemukan jati dirinya dan minat keprofesiannya. Namun di sisi lain, tidak sedikit masyarakat yang menjadikan kehidupan SMA sebagai isu yang tak pernah berujung kekrusialannya untuk dibahas.

Sesuatu yang paling sering diperbincangkan adalah soal penjurusan. Sejak jaman kolonialisme, penerapan model segmentasi akademik dalam dunia sekolah atas sudah menjadi wajib hukum penerapannya. Saat siswa telah secara resmi menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya, pikiran mereka akan dihadapkan dengan sebuah dilema berkepanjangan ; terkait dengan pembagian kategori kelas berdasarkan fokus disiplin ilmu, yakni alam ataukah sosial ? Sebagai bagian awal proses, sebelumnya mereka akan terlebih dahulu bergelut dengan segudang tuntutan kompetensi melalui kehadiran berbagai macam mata pelajaran SMA umum yang 'keroyokan'.

 Disaat itulah dinamika kelas 10 dilalui. Satu tahun berlalu, kemudian saatnya jalan pembelajaran mereka lebih diarahkan. Tangan mereka dipenuhi dengan kebebasan untuk memilih, mana lika-liku jalan pendidikan yang mereka bersedia untuk dipacu, apakah IPA atau IPS. Bagi kalangan tertentu, masa-masa itu adalah saat dimana dilema berkepanjangan itu muncul. 

Apakah ingin menuruti minat dan kapasitas kemampuan, ataukah dengan berat hati memberanikan diri mengalir seiring koersifitas arahan orang tua ? Realitas pun menunjukan, bukan sesuatu yang tidak mungkin keputusan kedua bisa menjadi bencana bagi segelintir kalangan mahasiswa yang menjadi korban kenaifan dan keposesifan generasi tua.

Tiap tahun, berganti jaman, roda proses tersebut menggelindingi dinamika budaya formal pendidikan Indonesia. Seakan sudah menjadi paradigma yang 'terlanjur menempel' pada kehidupan sosial masyarakat Indonesia, fenomena pembagian jurusan tak jarang tidak terlalu dihiraukan oleh orang-orang. Tidak peduli hal tersebut tidak jarang mengakibatkan kegantungan psikologis bagi anak-anak mereka, yang orang tua tau hanyalah itu semua adalah upaya konkrit pemerintah dalam memaksimalkan kualitas pendidikan Indonesia (?) Padahal jika dilihat dari sudut pandang lain, hal tersebut tidak selamanya berlaku demikian.

Ya, tidak selamanya demikian. Paling tidak itulah gambaran kegelisahan yang mewarnai argumen pribadi beberapa kalangan insan muda yang peka dan kritis terhadap kehidupan sosial pendidikan menengah atas di Indonesia. Bagi mereka, bagaimana pun tetap terdapat adanya ketidakberesan yang menghantui kehidupan akademik sekolah atas, terutama terkait langsung dengan isu sensitif layaknya pembagian jurusan itu sendiri. Ketidakberesan itu dikenal dengan dengan diskriminasi.

Persepsi masyarakat (terutama dalam ruang lingkup generasi tua) sudah terlanjur menelan ketimpangan persepsi mengenai pembagian jurusan tersebut, dimana masing-masing dari jurusan dihubungkankan secara membabi buta dengan yang namanya taraf hidup, status sosial, tingkat intelegensi, dan sebagainya. Tanpa pertimbangan rasional apapaun, banyak orang yang menjadikan kepemilikan jurusan IPA sebagai penjamin penuh akan prospek kesuksesan di masa yang akan datang ; sebagai jembatan emas menuju kelancaran karir dan mobilitas sosial naik yang diimpi-impikan bagi siapapun ; sebagai pengukir kekayaan untuk jangka waktu yang ditentukan ; dan sebagainya.

Bersamaan dengan itu, yang IPS justru secara tersirat terdiskriminasi secara sosial oleh karena ketimpangan persepsi tersebut. Dengan bersenjatakan stereotip yang sudah melekat pada pikiran orang-orang, masih ditemukan banyak pihak yang begitu meragukan keberlanjutan prospek dan nasib kesuksesan mereka. Belum sampai disitu, masalah semin rumit tatkala masih bahkan banyak kalangan juga menghubung-hubungkan eksistensi 'kaum' IPS dengan rendahnya kualitas attitude dan penampilan. Seiring waktu hal itu akan terus disusul dengan hadirnya mitos-mitos lain tentang mereka yang tak kalah konyol.

meme-ipa-vs-ips-sumber-1cak-com-5978be30a388ed039c292394.jpg
meme-ipa-vs-ips-sumber-1cak-com-5978be30a388ed039c292394.jpg
Dibandingkan dengan yang IPA, disinilah seakan-akan para siswa IPS kehilangan kredibilitasnya sebagai sesama anak muda yang belajar, berkembang dan mendewasa. Esensi segmentasi akademik menjadi pudar, tersulap menjadi 'stratifikasi akademik', dimana yang terlihat adalah IPS membawahi IPA, bukan IPS bersama dengan IPA. Memang benar realitas sudah menunjukan bahwa sudah banyak pihak-pihak pemerhati pendidikan dan institusi akademik yang sudah membuang jauh pemikiran semu itu.

Hal tersebut dapat dilihat melalui kehadiran sejumlah perguruan tinggi swasta yang membuka pintu lebar-lebar bagi kaum IPS yang berbekal tekad dan minat untuk mendalami jurusan perkuliahan dari disiplin ilmu alam yang tentunya berlawanan dengan mereka. Namun tetap saja, sekali lagi, ketika suatu ideologi membudaya dan mengakar dalam kehidupan masyarakat, maka akan sulit untuk lepas.

Padahal, terlepas dari itu semua, segalanya kembali pada otoritas masing-masing individu muda dalam menuntut ilmu dan menuju kedewasaan. Manakah yang lebih baik ? Menghadapi kewajiban dan tanggung jawab dengan penuh kemotivasian, atau melalui semuanya dengan penuh keterpaksaan menunggangi idealisme orang tuanya ? Tentu, pilihan pertama adalah yang terbaik. Motivasi sangat berperan penting, karena itu merupakan sesuatu yang mendasari lahirnya sebuah passion. 

Ketika motivasi tersebut memenuhi intuisi pikiran dan perasaan siswa selama memikul tanggung jawab akademiknya, disaat yang bersamaan mereka akan menemukan model kompetensinya sendiri, sesuai dengan bidang, minat dan kapasitas kemampuannya ; yang dimana hal tersebut akan diiringi dengan kesadaran penuh akan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari situlah, passion akan lahir kemudian menciptakan dorongan dan kemauan alami untuk terus berkarya dan berevaluasi diri akan terus menggerakan motor kepercayaan diri dan semangat mereka. 

Berikut kiat-kiat yang dirasa mampu menjauhkan kaum muda-mudi IPS dari segala bentuk perasaan terpuruk, tidak percaya diri, minder, dan sebagainya. Kiat yang satu berkaitan langsung dengan kiat lainnya :

1. IPS adalah ilmu yang luas, abstrak dan menjadi dimensi ilmu yang implementasi dan realitas konkritnya dapat kita temukan dari dalam kehidupan kita sendiri. Kita mengkaji secara langsung apa yang terjadi dalam kehidupan sosial mayarakat dengan variasi ruang lingkup, termasuk ruang lingkup lingkungan interaksi kita sendiri. Di IPS sendiri lah, kelengkapan segala sesuatu yang berhubungan dengan realitas fenomena dan masalah kehidupan sosial masyarakat ditemukan.

2. Kata siapa jurusan IPA lebih koheren untuk merepresentasikan kecerdasan anak muda ? Kecenderungan IPA yang memiliki pergelutan dengan lebih banyak barisan angka dan rangkaian rumus tidaklah selamanya menjamin ketangkasan dan kepintaran. Justru terlalu banyak berhadapan dengan disiplin ilmu yang bersifat empiris, hanya akan memaksa kita untuk selalu terlalu objektif, sehingga terkesan menekan kemampuan kita dalam berpikir subjektif. Keobjektifan memang lebih penting, namun tanpa kesubjektifan, naluri alami anak muda dalam mengkritisi dan berpendapat tentang sesuatu akan menjadi terhambat. 

Berbeda dengan itu, IPS cenderung lebih bersifat observatif dan bukan bagian dari kajian ilmu dengan teori-teori absolut. Dengan demikian, subjektivitas dan empati kita akan terlatih, karena didalam ilmu sosial kita menaruh perhatian utama kedalam segala apa yang ada di masyarakat, berserta semua bentuk perubahan dan evolusinya seiring perubahan jaman.                  

3. Kesosialan berserta isu-isu yang ada didalamnya, adalah titik berat yang mendasari ilmu sosial. Maka, dengan menjadi bagian dari kaum IPS, secara otomatis kita mengabdikan dan menempatkan diri dan perhatian kita pada isu-isu yang mengiringi kehidupan masyarakat. Kita akan memenuhi pengetahuan kita dengan seperangkat nilai dan budaya yang membentuk karakterisitik masyarakat itu sendiri. Maka, dapat dikatakan bahwa menjadi bagian dari IPS adalah momen penting yang tepat bagi kita untuk lebih mengenal masyarakat kita sendiri.

Bagaimanapun, mengorbankan jati diri anak muda demi jaminan semu tentang keberhasilan  dimasa yang akan datang adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, karena hal tersebut hanya akan memangkas kebebasan, motivasi dan kepercayaan diri mereka. Sebagai pribadi yang pernah mencicipi garam dunia dari diskriminasi yang dibahas sebelumnya, penulis sejalan dengan apa yang disampaikan dalam tulisan ini. Segmentasi berdasarkan fokus disiplin ilmu memang tetap diperlukan. Namun jangan sampai hal tersebut malah merepresentasikan ketidak-sederajatan dan perbedaan perlakuan.

Teringat penulis dengan sepotong pendapat dari seorang pesulap pesohor tanah air yang kini memanfaatkan situs youtube untuk berbagi argumen dan pemikiran. Deddy Corbuzier, beliau sempat mempertanyakan kepada para netizen, bahwa ketika kita memaksakan diri terpaku pada keputusan orang tua, dan setelah waktu berlalu kemudian kita sadar bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang salah dan hanya berujung penyesalan, apa yang akan kita lakukan ? T

entu kita akan menyalahkan orang tua dan memaksa mereka untuk bertanggung jawab atau setidaknya membantu kita untuk bisa keluar dari penyesalan tersebut. Namun, kira-kira apa yang akan kita lakukan ketika bencana yang sama terjadi pada keputusan yang kita ambil sendiri ? Tentu, yang bisa kita lakukan hanyalah menyalahkan diri kita sendiri. Dan, ketika kita melakukan itu, disaat yang bersamaan terjadilah yang namanya proses BELAJAR. Belajar untuk mengevaluasi diri kita, mengintropeksi kesalahan kita, sehingga kita akan lebih mengenal siapa diri kita.

Akhir kata, sebagai upaya penulis untuk tetap terbuka, penulis mengakui bahwa penyusunan tulisan ini didominasi oleh opini pribadi penulis. Dengan segala pertimbangan, ketidak-independensian penulis sama sekali bukanlah bertujuan untuk menjatuhkan atau membuat tersinggung cabang disiplin ilmu lain. Motif personal penulis semata-mata hanya menuangkan uneg-uneg, berharap kalangan orang tua semakin sadar akan betapa pentingnya menaruh kebebasan anak berdasarkan minat mereka dalam hal belajar dan pembekalan keprofesian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun