Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlunya Rekonstruksi Sudut Pandang Masyarakat Tentang SMA

26 Juli 2017   22:36 Diperbarui: 26 Juli 2017   23:07 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika motivasi tersebut memenuhi intuisi pikiran dan perasaan siswa selama memikul tanggung jawab akademiknya, disaat yang bersamaan mereka akan menemukan model kompetensinya sendiri, sesuai dengan bidang, minat dan kapasitas kemampuannya ; yang dimana hal tersebut akan diiringi dengan kesadaran penuh akan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari situlah, passion akan lahir kemudian menciptakan dorongan dan kemauan alami untuk terus berkarya dan berevaluasi diri akan terus menggerakan motor kepercayaan diri dan semangat mereka. 

Berikut kiat-kiat yang dirasa mampu menjauhkan kaum muda-mudi IPS dari segala bentuk perasaan terpuruk, tidak percaya diri, minder, dan sebagainya. Kiat yang satu berkaitan langsung dengan kiat lainnya :

1. IPS adalah ilmu yang luas, abstrak dan menjadi dimensi ilmu yang implementasi dan realitas konkritnya dapat kita temukan dari dalam kehidupan kita sendiri. Kita mengkaji secara langsung apa yang terjadi dalam kehidupan sosial mayarakat dengan variasi ruang lingkup, termasuk ruang lingkup lingkungan interaksi kita sendiri. Di IPS sendiri lah, kelengkapan segala sesuatu yang berhubungan dengan realitas fenomena dan masalah kehidupan sosial masyarakat ditemukan.

2. Kata siapa jurusan IPA lebih koheren untuk merepresentasikan kecerdasan anak muda ? Kecenderungan IPA yang memiliki pergelutan dengan lebih banyak barisan angka dan rangkaian rumus tidaklah selamanya menjamin ketangkasan dan kepintaran. Justru terlalu banyak berhadapan dengan disiplin ilmu yang bersifat empiris, hanya akan memaksa kita untuk selalu terlalu objektif, sehingga terkesan menekan kemampuan kita dalam berpikir subjektif. Keobjektifan memang lebih penting, namun tanpa kesubjektifan, naluri alami anak muda dalam mengkritisi dan berpendapat tentang sesuatu akan menjadi terhambat. 

Berbeda dengan itu, IPS cenderung lebih bersifat observatif dan bukan bagian dari kajian ilmu dengan teori-teori absolut. Dengan demikian, subjektivitas dan empati kita akan terlatih, karena didalam ilmu sosial kita menaruh perhatian utama kedalam segala apa yang ada di masyarakat, berserta semua bentuk perubahan dan evolusinya seiring perubahan jaman.                  

3. Kesosialan berserta isu-isu yang ada didalamnya, adalah titik berat yang mendasari ilmu sosial. Maka, dengan menjadi bagian dari kaum IPS, secara otomatis kita mengabdikan dan menempatkan diri dan perhatian kita pada isu-isu yang mengiringi kehidupan masyarakat. Kita akan memenuhi pengetahuan kita dengan seperangkat nilai dan budaya yang membentuk karakterisitik masyarakat itu sendiri. Maka, dapat dikatakan bahwa menjadi bagian dari IPS adalah momen penting yang tepat bagi kita untuk lebih mengenal masyarakat kita sendiri.

Bagaimanapun, mengorbankan jati diri anak muda demi jaminan semu tentang keberhasilan  dimasa yang akan datang adalah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, karena hal tersebut hanya akan memangkas kebebasan, motivasi dan kepercayaan diri mereka. Sebagai pribadi yang pernah mencicipi garam dunia dari diskriminasi yang dibahas sebelumnya, penulis sejalan dengan apa yang disampaikan dalam tulisan ini. Segmentasi berdasarkan fokus disiplin ilmu memang tetap diperlukan. Namun jangan sampai hal tersebut malah merepresentasikan ketidak-sederajatan dan perbedaan perlakuan.

Teringat penulis dengan sepotong pendapat dari seorang pesulap pesohor tanah air yang kini memanfaatkan situs youtube untuk berbagi argumen dan pemikiran. Deddy Corbuzier, beliau sempat mempertanyakan kepada para netizen, bahwa ketika kita memaksakan diri terpaku pada keputusan orang tua, dan setelah waktu berlalu kemudian kita sadar bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang salah dan hanya berujung penyesalan, apa yang akan kita lakukan ? T

entu kita akan menyalahkan orang tua dan memaksa mereka untuk bertanggung jawab atau setidaknya membantu kita untuk bisa keluar dari penyesalan tersebut. Namun, kira-kira apa yang akan kita lakukan ketika bencana yang sama terjadi pada keputusan yang kita ambil sendiri ? Tentu, yang bisa kita lakukan hanyalah menyalahkan diri kita sendiri. Dan, ketika kita melakukan itu, disaat yang bersamaan terjadilah yang namanya proses BELAJAR. Belajar untuk mengevaluasi diri kita, mengintropeksi kesalahan kita, sehingga kita akan lebih mengenal siapa diri kita.

Akhir kata, sebagai upaya penulis untuk tetap terbuka, penulis mengakui bahwa penyusunan tulisan ini didominasi oleh opini pribadi penulis. Dengan segala pertimbangan, ketidak-independensian penulis sama sekali bukanlah bertujuan untuk menjatuhkan atau membuat tersinggung cabang disiplin ilmu lain. Motif personal penulis semata-mata hanya menuangkan uneg-uneg, berharap kalangan orang tua semakin sadar akan betapa pentingnya menaruh kebebasan anak berdasarkan minat mereka dalam hal belajar dan pembekalan keprofesian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun