Mohon tunggu...
Mario Kulas
Mario Kulas Mohon Tunggu... lainnya -

Ordinary People

Selanjutnya

Tutup

Money

Skenario Perampasan Tanah Dibalik Isu Krisis Pangan Global

17 Oktober 2011   23:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:50 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dengan demikian, negeri-negeri imperialis tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung lainnya. Indonesia misalnya, di Kalimantan dan Papua, tanah yang digunakan adalah tanah gambut, selain tanah hutan. Bahkan banyak yang masih merupakan tanah hutan primer, langsung dibabat menjadi perkebunan biodiesel (kelapa sawit di Kalimantan dan Papua, Indonesia) dan perkebunan bioetanol (tebu di Amazon, Brazil). Sehingga perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi semacam ini, dapat meraup dua keuntungan sekaligus, yakni kayu gelondongan dan komoditas perkebunan yang harganya semakin mahal.

Perampasan tanah dan upaya meraup keuntungan berlipatganda bagi koorporasi internasional.

Krisis finansial global, krisis pangan, dan krisis energi, sepertinya telah menjadi faktor penggerak utama bagi semakin gencarnya aksi perampasan tanah-tanah rakyat dan aksi "ambil untung" secara besar-besaran yang dilakukan oleh koorporasi-koorporasi internasional skala besar di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia.

Ditengah bangkrutnya sektor industri Amerika Serikat dan Uni Eropa, tren harga pangan terus mengalami peningkatan. Tentu ini merupakan peluang investasi yang sangat menguntungkan. Deutsche Bank, bank asal Jerman, mengusulkan agar investor global berinvestasi di bidang pertanian, emas dan hedge fund. Chief Investment Officer Deutcsche Bank Asia mengatakan "Kami memiliki pandangan positif terhadap komoditas pertanian karena populasi dan pendapatan penduduk global akan meningkat, lahan pertanian mulai terbatas sehingga memicu permintaan protein."[10]

Sementara itu, Direktur Jenderal FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), Jacques Diouf menyatakan bahwa untuk meningkatkan percepatan produksi pangan, tidak ada pilihan lain bagi dunia selain memanfaatkan teknologi. Dia menegaskan, teknologi merupakan kunci peningkatan produktivitas tanaman pangan. Karena itu, menurutnya, swasta perlu lebih banyak berperan.[11] Hal ini menunjukkan adanya upaya liberalisasi besar-besaran di sektor pertanian.

Akibatnya, semakin besar penguasaan korporasi internasional dalam industri pertanian. Pada bulan November 2008, Daewoo Logistics perusahaan milik Korea Selatan, menyatakan akan menanam modal sebesar US$ 6 miliar untuk mengembangkan lahan seluas 1,3 juta hektar di Madagaskar untuk memproduksi 4 juta ton jagung dan 500.000 ton kelapa sawit per tahun yang sebagian besar hasil produksinya akan dibawa keluar Madagaskar. Di Kamboja, negeri kaya minyak, Kuwait, menyediakan dana pinjaman sebesar US$ 546 juta sebagai imbalan atas produksi pertanian. Sementara Filipina telah membuka pembicaraan dengan Qatar soal kontrak sedikitnya 100.000 hektar lahan pertanian. Di Laos, para pakar memperkirakan 2 juta hektar hingga 3 juta hektar lahan pertanian telah "dihadiahkan" kepada pihak asing secara tidak terkendali.[12]

Black Rock Inc. yang berkantor pusat di New York, lembaga pengelola uang terbesar di dunia dengan lebih dari US$ 1,5 triliun dalam buku keuangannya, telah merancang dana perlindungan pertanian sebesar US$ 200 juta, yang US$ 30 juta di antaranya akan digunakan untuk memperoleh lahan pertanian di seluruh dunia.

Sementara itu, wilayah paling subur yang terbentang mulai dari Ukraina hingga selatan Rusia menjadi arena kompetisi perebutan tanah yang paling panas. Morgan Stanley, yang baru saja bergabung dalam antrian membantu Departemen Keuangan AS, belakangan telah membeli 40 ribu hektar lahan pertanian di Ukraina. Renaissance Capital, sebuah biro investasi dari Rusia, memiliki hak perolehan lahan pertanian di Ukraina seluas 300 ribu hektar. Black Earth Farming, kelompok investor asing dari Swedia, memegang kendali akuisisi 331 ribu hektar lahan pertanian di wilayah bumi hitam Rusia. Alpcot-Agro, perusahaan investasi Swedia yang lain, telah membeli hak atas lahan seluas 128 ribu hektar juga di sana. Sementara Landkom, kelompok investor asing dari Inggris, telah membeli lahan pertanian hingga 100 ribu hektar di Ukraina dan berjanji akan memperluasnya hingga 350 ribu hektar pada tahun 2011. Semua lahan ini akan digunakan untuk memproduksi padi, minyak nabati, daging dan susu untuk memenuhi pasar dunia yang tengah kelaparan.

Demikian halnya yang terjadi dengan Indonesia. SBY mempercayai bahwa, dengan melibatkan industri, produksi pangan bisa ditingkatkan berlipat-lipat dibandingkan bila lahan pertanian dikelola petani kecil. Inilah yang kemudian menjadi dasar dari ditetapkannya Undang-Undang No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang memberikan jalan masuknya pengusaha pertanian, baik tingkat lokal, nasional maupun multinasional mengolah lahan di Indonesia dan memperdagangkannya baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 18 juta hektar kawasan hutan ditawarkan untuk kegiatan pembangunan ekonomi berkelanjutan hingga tahun 2025 bagi energi biomassa, minyak sawit, dan tambang. Kemenhut memproyeksikan setiap tahun sebanyak 500.000 ha lahan digunakan untuk energi biomassa dan dalam hitungan sepuluh tahun, sudah 5 juta ha hutan terdegradasi digunakan. Selain kawasan hutan untuk energi biomassa, Kemenhut juga menyajikan kawasan hutan untuk minyak sawit dengan perhitungan rata-rata 300.000 ha per tahun, dan dalam waktu 20 tahun, hutan terdegradasi yang dapat ditanami sawit mencapai 6 juta ha. Sementara kawasan hutan untuk tambang disediakan 2 juta ha untuk keperluan 20 tahun dengan perhitungan setiap tahun terserap 100.000 ha. Sekira 18 juta ha ada yang masuk pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu seluas 35,41 juta ha atau berada di luarnya. Total 35,41 juta ha itu mencakup hutan tanaman industri 9,18 juta ha, hutan tanaman rakyat 5,5 juta ha, restorasi ekosistem 7,46 juta ha, dan hutan alam 13,23 juta ha. Pemanfaatan 18 juta ha ini digunakan untuk mencapai tujuan pengurangan emisi 26% dan pembangunan ekonomi 7%.(Bisnis.com, 27/11/2011)

Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,[13] UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), dan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Demikian halnya dengan kebijakan pembebasan pajak (tax holiday) hingga rentan waktu 10 tahun yang akan memperbesar dominasi asing atas penguasaan sumber-sumber kekayaan alam di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun