Mohon tunggu...
Nofrianus Sothirjo Marin
Nofrianus Sothirjo Marin Mohon Tunggu... Lainnya - Suka Membaca Tulisan Ringan

Pejalan Sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saya Orang NTT "Nusa Terindah Toleransi"

15 Juli 2020   12:53 Diperbarui: 15 Juli 2020   12:55 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tentang Rintho, Dia lahir dari keluarga yang berbeda keyakinan juga. Ibunya menganut kepercayaan Islam, ayahnya menganut Katolik. Beberapa kakaknya mengikuti kepercayaan bapaknya, sedangkan dia memilih bersama ibunya. Kami berbeda di bawah satu atap, tapi kami tau apa yang harus kami katakan dan lakukan di  tengah perbedaan itu. Seperti di Indonesia, kita satu atap, di bawah atap Nusantara Terindah Toleransi.

...

Aku berada di titik waktu untuk kembali meninggalkan kota yang disebut miniaturnya Indonesia itu. Tepatnya awal Oktober 2018, setelah empat tahun saya menimba kekayaan hidup di sana. Saya tidak hanya membawa selembar kertas (ijazah), tetapi pelajaran berharga untuk menjadi manusia Indonesia, yaitu nilai-nilai kebangsaan yang saya cicipi di luar kelas, di sudut-sudut angkringan atau warung kopi. Di gelap-gelap malam, berterang cahaya lampu, saya kembali meninggalkan kota itu.

Saya sempat merasakan hangatnya sapaan-sapaan, dan lembutnya hembusan angin malam. Saya kembali seorang diri. Khusuknya malam itu menghantar saya pada sebuah refleksi tentang kehidupan seorang anak desa di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Terkadang, kita bertolak ke tempat yang lebih dalam untuk memahami sebuah arti kehidupan yang mendalam, dan saya telah melakukannya, di tepian Indonesia, saya bertolak ke dalamnya Indonesia. Dari Timor, NTT menuju Yogyakarta, DIY. Saya telah menikmati indahnya menjadi Indonesia yang seutuhnya. Saatnya, saya aplikasikan dalam keseharian.

...

..., telah berkedip cahaya di kegelapan gua itu. Mari kita bersama merawat api perjuangan itu agar tetap bernyala. Seperti kata Bung Karno, "warisi apinya, jangan abunya". Iya api toleransi di antar setiap anak bangsa. Biarkan dia bercahaya untuk menerangi jalan-jalan kehidupan kita menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia yaitu Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur.

Akhir kata, sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menjadikan perbedaan-perbedaan di dalamnya sebagai sebuah kekuatan besar untuk berevolusi dan berevolusioner. Merdeka!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun