Padahal, perlu diketahui oleh Jokowi, bahwa keputusan RR menghentikan Reklamasi Pulau G telah dilandasi oleh berbagai fakta yang ilmiah dan objektif. Karena, selain memang menganggu penghidupan nelayan Muara Angke (yang bukankah kaum nelayan adalah pilar terdepan Poros Maritim Dunia Jokowi?) seperti dinyatakan oleh surat Menteri KKP Susi Pudijastuti tanggal 22 Juli 2016; keberadaan Pulau G juga tidak dibenarkan berhimpitan dengan jalur pipa gas milik Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ berdasarkan hukum: UU No 1/1973 tentang Landas Kontinen, PP No 5/2010 tentang Kenavigasian, Permenhub No 25/2011, Permenhub No 68/2011, Permen ESDM No 1/2011. Menjadi wajar bila hingga belum lama ini juga, PHE ONWJ menyatakan keberatannya atas Reklamasi Pulau G.
Di perdebatan Reklamasi Pulau G ini RR sebenarnya telah berjuang pasang badan untuk Jokowi untuk hindarkan Jokowi dari potensi pelanggaran UU, yang dapat menjadi masalah politik baru. Suatu bentuk “loyalitas pada pimpinan” yang dilakukan RR, bahkan hingga detik-detik terakhirnya menjadi Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, membela Presiden di muka publik (Acara ILC TV ONE 26 Juli 2016 malam) meskipun itu harus berdebat sengit dengan Ahok. Hanya Jokowi ternyata menilai lain, RR malah dicopot.
Dengan asumsi Jokowi tidak memiliki konflik kepentingan dengan Agung Podomoro, dan mengetahui bahwa RR sebenarnya melindungi Presiden dalam persoalan Reklamasi Pulau G, harusnya ada alasan lain yang lebih kuat. Jawabannya ada pada masuknya nama SMI ke Kabinet Jokowi.
Jebakan Utang Bank Dunia
Jokowi sudah salah menempatkan orang untuk posisi Menteri Koordinator Perekonomian semenjak awal pemerintahannya. Dirinya tidak pernah menempatkan seorang ekonom yang paham konsep Trisakti, di bawah Sofyan Djalil dan kini Darmin Nasution arah ekonomi pemerintahan Jokowi tetap menggunakan model neoliberal. Bergabungnya SMI sebagai Menteri Keuangan belakangan, semakin menyempurnakan sistem neoliberalisme di Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi.
RR yang seharusnya ditempatkan di posisi Menko Perekonomian (kabarnya Jokowi menjanjikan ini?), malah menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya, sektor yang agak kurang sesuai dengan portofolio RR yang kuat di makro ekonomi. Beruntung, RR adalah tipikal pejabat yang cepat belajar dan tidak mudah menyerah saat menempati pos yang “kurang pas” bagi dirinya tersebut. Setidaknya hal ini (keberhasilan RR selama 11 bulan menjabat) diakui oleh para bawahannya di kementerian.
Sementara, kita ketahui bersama bahwa situasi perekonomian terus merosot. Pertumbuhan ekonomi turun terus dari kuartal ke kuartal. Ketimpangan sosial terus memburuk. Dan defisit anggaran terus membesar. Program andalan yang dipandang sebagai terobosan hanyalah deregulasi ekonomi (yang merupakan salah satu fondasi kebijakan neoliberal) untuk mendatangkan investasi asing sebanyak-banyaknya. Yang sialnya, investasi yang diharapkan tidak kunjung datang, karena dana asing lebih memilih negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari Indonesia.
Harapan pemerintah kemudian diletakkan pada program pengampunan pajak, padahal dari total target Rp 165 triliun paling banyak hanya Rp 50 triliun yang dapat diperoleh. Artinya pada anggaran terdapat kebocoran dana lebih dari Rp 100-an triliun. Bila kekurangan ini tidak dapat ditanggulangi, maka dapat mengancam program-program infrastruktur kebanggaan Jokowi. Darimana didapatkan dana segar untuk menambal kebocoran ini?
Jawabannya diberikan oleh kehadiran SMI, yang juga pejabat Bank Dunia, dalam Kabinet Jokowi. Tentu saja hal ini mudah saja bagi SMI, untuk memperjuangkan mengucurnya dana utang dari Bank Dunia menambal bocornya APBN Indonesia. SMI sudah sejak 10-an tahun lalu dikenal di pergaulan dunia sebagai “Menteri Keuangan Terbaik” karena selalu memberikan bunga pinjaman obligasi yang tinggi bagi para investor asing meskipun itu merugikan Indonesia di jangka panjang.
Tapi yang paling penting di sini adalah segala persyaratan (conditionalities) yang akan mengikuti utang dari Bank Dunia yang akan dibawa oleh SMI nanti. Seperti biasanya, persyaratan yang diminta oleh Bank Dunia pastilah berupa kuasa untuk men-draft berbagai UU dan peraturan pemerintah yang vital bagi perekonomian Indonesia. Salah satu contoh UU yang pasti akan diminta Bank Dunia adalah revisi UU Migas. Padahal seperti diketahui, UU Migas No 22/2001 sendiri lahir karena operasi AS melalui lembaga USAID yang memberikan hibah sebesar US$ 400 juta bagi Pemerintah Indonesia, yang akhinya sebagian besar pasal-pasalnya dibatalkan di Mahkamah Konstitusi. RR termasuk salah satu ekonom yang berjuang dalam pembatalan UU Migas no 22/2001 yang didraft asing ini.
UU Migas hanya salah satu contoh. Dapat saja nanti Bank Dunia akan minta Indonesia melakukan “kebijakan pengetatan” anggaran (austerity policy), dan yang sering jadi target pemotongannya adalah anggaran-anggaran subsidi sosial dan subsidi energi. Dan kebijakan-kebijakan neoliberal lainnya.