Berdasarkan data Worldometers, Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 269 juta jiwa atau 3,49% dari total populasi dunia. Penduduk Indonesia sebesar itu tergolong beragam/majemuk secara demografi.Â
Statistik atau indikator yang biasa digunakan untuk melihat fenomena kemajemukan Indonesia terlihat dari jumlah, komposisi dan sebaran penduduk berdasarkan aspek-aspek sosial budaya yang meliputi kewarganegaraan, suku bangsa, agama dan bahasa sehari-hari.
Dilihat dari segi gegorafis, keragaman Indonesia tampak dari keanekaragaman sumber daya alam. Indonesia di sejumlah wilayahnya dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti minyak bumi, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak.Â
Di samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2 juga menyediakan potensi alam yang sangat besar.
Keragaman Indonesia secara demografis dan geografis adalah kekayaan dan berkah bagi bangsa Indonesia. Di balik itu, terdapat pula potensi disintegrasi yang bila tidak ditangani dengan baik dan serius bisa mengganggu persatuan dan keutuhan wilayah Indonesia di masa depan.Â
Ditinjau dari aspek komunitas, disintegrasi bisa berawal akibat ketidakpuasan masyarakat karena ketidakmampuan nagara mengelola perbedaan kepentingan di setiap daerah dan mengalokasikan sumber daya secara adil di setiap daerah.
Potensi ancaman tersebut bisa dikatakan besar jika dilihat dari kompleksnya  permasalahan. Beberapa persoalan penting yang dihadapi Indonesia saat ini yang bisa memicu ancaman keberlangsulangan negara Indonesia antara lain (1) persoalan utang, (2) persoalan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar USA, (3) keterediaan pangan khususnya beras dan (4) persoalan politik nasional.
Isu hutang dan investasi asing merupakan salah satu isu yang sangat penting untuk diwaspadai sekarang ini sebagai ancaman disintegrasi bangsa. Pernyataan mantan Panglima GAM yang ingin memisahkan diri dari Indonesia menarik untuk dicermati.Â
Bukan hanya karena pernyatan sejenis bisa saja diikuti oleh daerah-daerah lain yang dulunya kerajaan atau kesultanan, Â namun juga karena menguatnya isu Indonesia akan dikuasai asing melalui jerat utang dan investasi asing.
Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sebesar USD 393,5 miliar atau sekira Rp 5.553,5 triliun per akhir Agustus. Naik 8,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year-on-year (YoY). Rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat 29,87 persen, naik dari 24,7% pada tahun 2014. Banyak pihak yang membela kebijakan utang pemerintah, namun tidak sedikit pula yang mengkritiknya.
Salah satu alasan kritis kondisi utang pemerintah saat ini adalah karena dilakukan dalam kondisi makro ekonomi Indonesia yang kurang bagus. Salah satu indikatornya adalah penerimaan pajak tak mampu memenuhi target disebabkan produksi dan saya beli masyarakat yang menurun.Â
Di sisi lain, APBN mengalami defisit dari tahun ke tahun, sementara pembangunan infrastruktur harus terus berjalan. Untuk menutupinya, negara harus menopangnya dengan utang, hingga akhirnya pertumbuhan utang lebih tinggi dari pertumbuhan penerimaan pajak.
Pada situasi tidak ada terobosan pemerintah untuk menggali penerimaan selain pajak, tentu langkah yang diambil adalah menarik utang baru. Akibatnya, utang pemerintah semakin membengkak dan berbunga mahal.Â
Tanpa terobosan pula, cepat atau lambat pemerintah akan menghadapi kesulitan mencari utang di pasar bebas, karena munculnya kekhawatiran kreditur bahwa pemerintah nantinya gagal atau kesulitan membayar cicilan dan bunganya.Â
Akhirnya, satu-satunya yang bisa menjawab kekhawatiran kreditur adalah menjadikan asset negara atau kekayaan alam sebagai jaminan. Pada kondisi seperti inilah, ancaman pengusaan asing melalui utang menjadi momok baru bagi daerah. Daerah yang memiliki kekayaan alam luar biasa namun belum menikmati manfaatnya secara adil akan mengkhawatirkan masa depan daerahnya akan berada di tangan asing.
Di samping ancaman utang, negara juga memiliki tugas menjaga nilai tukar rupiah. Hutang dan nilai tukar rupiah pada dasarnya akan saling mempengaruhi, dan dihubungkan oleh devisa.Â
Ketika pemerintah menerbitkan surat utang, hal ini membawa risiko terhadap kurs rupiah. Sebaliknya, ketika nilai tukar rupiah melemah berarti utang negara dalam rupiah membengkak.Â
Merosotnya nilai tukar rupiah juga berpengaruh pada pembayaran defisit neraca perdagangan. Padahal, Indonesia saat ini terus mengalami defisit transaksi berjalan yang hingga April 2019 sudah mencapai USD 7 miliar dan tampaknya akan terus bertambah sejalan dengan trend volume ekspor impor Indonesia yang cenderung defisit.Â
Dalam April 2019 ini saja defisit neraca perdagangan mencapai USD 2,5 miliar. Hal ini pulalah yang menyebabkan kurs Rupiah terus terdepresiasi di kisaran Rp 14.000 per USD.
Untuk menutupi beban utang dan defisit neraca berjalan, selain menggenjot nilai ekspor Indonesia juga diperlukan pemasukan pajak yang lebih banyak lagi. Padahal banyak pihak menilai bahwa di tengah kondisi ekonomi yang kurang menggembirakan, target penerimaan pajak tahun 2019 terlalu tinggi.Â
Penilaian ini didasari oleh melesetnya penerimaan pajak dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 sebesar Rp 1.577 triliun. Hingga semester I baru diterima Rp 603,34 triliun atau 38,25 persen dari target tersebut. Pemerintah pun memprediksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini akan naik hingga 2-2,2 persen dari Produk Domestik Bruto dari sebelumnya 1,86 persen.
Merosotnya peronomian Indonesia yang ditunjukkan oleh indikator makro di atas memiliki banyak faktor penyebab. Di antaranya semakin meningkatnya barang-barang konsumsi yang berasal dari impor yang itu juga berarti terjadi penurunan kemampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Inilah yang menyebabkan terjadnya imported inflation. Sebab lainnya adalah menurunnya daya beli masyarakat.
Isu strategis lainnya yang dihadapi Indonesia adalah ketersediaan pangan khususnya beras. Ketersedian pangan di suatu negara sangat terkait dengan ketahanan nasional.Â
Berdasarkan data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2014 hingga 2018, indeks ketahanan pangan di Indonesia memang terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2014 mencapai 46,5 indeks dan di tahun 2018 mencapai 54,8 indeks.
Di balik angka tersebut, pada dasarnya Indonesia juga menghadapi persoalan konversi lahan produktif pertanian yang bisa mengancam ketahanan pangan Indonesia. Rata-rata penyusutan lahan produktif pertanian diperkirakan berkisar di angka 100.000--120.000 hektare (ha) setiap tahunnya.Â
Penyusutan ini ditengarai dipicu oleh pesatnya pembangunan infrastruktur di daerah sentra produksi pertanian dan lambatnya realisasi penambahan area sawah. Jika laju penyusutan berlanjut, ia menyebutkan Indonesia berpotensi kehilangan sampai 1,2 juta ha hanya dalam kurun waktu 10 tahun. Ini tentu merupakan ancaman jangka panjang.
Dengan asumsi tidak ada penyusutan lahan pertanian saja, Indonesia bisa menghadapi ancaman ketahanan pangan yang serius. Jika diasumsikan lahan baku sawah yang ditetapkan di angka 7,1 juta ha dengan produktivitas padi sebesar 5 ton per ha per tahun dan indeks penanaman sebanyak dua kali, maka estimasi produksi beras Indonesia hanya berada di angka 35 juta ton per tahun.Â
Dengan tingkat konsumsi nasional berada di kisaran 33 juta ton, hal ini berarti neraca beras hanya surplus 2 juta ton. Padahal, paling tidak dibutuhkan minimal surplus 10 juta ton untuk bisa disebut ketersediaan pangan kita dalam kondisi tahan dan berdaulat. Pada akhirnya, keran impor pangan akan dibuka untuk menjada pasokan pangan. Jika ini terjadi, sekali lagi isu kedaulatan akan semakin menguat di tengah isu ketergantungan terhadap impor pangan asing.
Selain isu-isu di atas, kondisi politik nasional pun patut dicermati dengan serius. Beberapa isu-isu politis belum mampu ditangani secara tuntas oleh pemerintah. Sebut saja isu korupsi, sosial keagamaan, keadilan hukum, kesejahteraan hingga keberpihakan pada asing.Â
Pro kontra masyarakat terkait kinerja pemerintah yang meningkat jelang pilpres 2019, hingga kini masih terasa. Meskipun tensinya agak mereda, namun ketidakpuasan masyarakat bisa menjadi bahaya laten yang bisa meledak kapan saja.
Disinilah pemerintah diharapkan tampil menjadi pengayom bagi seluruh rakyat Indonesia dan mampu mengartikulasikan seluruh kebijakannya dengan baik. Pemerintah harus mampu menjawab isu-isu politik di atas dengan terobosan yang cerdas. Sebagai pemegang kekuasaan dalam mengelola politik negara ini, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi rakyat dan daerah secara optimal.Â
Ruang partisipasi tersebut tidak hanya mampu mengumpulkan seluruh potensi masyarakat dan daerah, namun juga akan menjadi pengokoh bagi keberlanjutan kesatuan wilayah negara Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia akan memiliki ikatan untuk bersama dalam membangun negara tanpa terkotak-kotak dalam keragaman wilayah itu sendiri.
Indonesia memang lahir dan tumbuh sebagai negara dengan berbagai keanekaragaman dan kemajemukan, namun bukanlah tidak mungkin jika kemajemukan ini mampu direkatkan oleh kekuatan politik yang berdaulat yang diperankan pemerintah dan partisipasi oleh komunitas, masyarakat dan pemerintah daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H