Mohon tunggu...
Mohammad Arif Yunus
Mohammad Arif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis dengan data, menguji dengan dalil dan menyampaikan dengan keimanan

Blogger

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

4 Isu Strategis bagi Masa Depan Indonesia

30 November 2019   10:45 Diperbarui: 30 November 2019   11:01 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Di sisi lain, APBN mengalami defisit dari tahun ke tahun, sementara pembangunan infrastruktur harus terus berjalan. Untuk menutupinya, negara harus menopangnya dengan utang, hingga akhirnya pertumbuhan utang lebih tinggi dari pertumbuhan penerimaan pajak.

Pada situasi tidak ada terobosan pemerintah untuk menggali penerimaan selain pajak, tentu langkah yang diambil adalah menarik utang baru. Akibatnya, utang pemerintah semakin membengkak dan berbunga mahal. 

Tanpa terobosan pula, cepat atau lambat pemerintah akan menghadapi kesulitan mencari utang di pasar bebas, karena munculnya kekhawatiran kreditur bahwa pemerintah nantinya gagal atau kesulitan membayar cicilan dan bunganya. 

Akhirnya, satu-satunya yang bisa menjawab kekhawatiran kreditur adalah menjadikan asset negara atau kekayaan alam sebagai jaminan. Pada kondisi seperti inilah, ancaman pengusaan asing melalui utang menjadi momok baru bagi daerah. Daerah yang memiliki kekayaan alam luar biasa namun belum menikmati manfaatnya secara adil akan mengkhawatirkan masa depan daerahnya akan berada di tangan asing.

Di samping ancaman utang, negara juga memiliki tugas menjaga nilai tukar rupiah. Hutang dan nilai tukar rupiah pada dasarnya akan saling mempengaruhi, dan dihubungkan oleh devisa. 

Ketika pemerintah menerbitkan surat utang, hal ini membawa risiko terhadap kurs rupiah. Sebaliknya, ketika nilai tukar rupiah melemah berarti utang negara dalam rupiah membengkak. 


Merosotnya nilai tukar rupiah juga berpengaruh pada pembayaran defisit neraca perdagangan. Padahal, Indonesia saat ini terus mengalami defisit transaksi berjalan yang hingga April 2019 sudah mencapai USD 7 miliar dan tampaknya akan terus bertambah sejalan dengan trend volume ekspor impor Indonesia yang cenderung defisit. 

Dalam April 2019 ini saja defisit neraca perdagangan mencapai USD 2,5 miliar. Hal ini pulalah yang menyebabkan kurs Rupiah terus terdepresiasi di kisaran Rp 14.000 per USD.

Untuk menutupi beban utang dan defisit neraca berjalan, selain menggenjot nilai ekspor Indonesia juga diperlukan pemasukan pajak yang lebih banyak lagi. Padahal banyak pihak menilai bahwa di tengah kondisi ekonomi yang kurang menggembirakan, target penerimaan pajak tahun 2019 terlalu tinggi. 

Penilaian ini didasari oleh melesetnya penerimaan pajak dari target yang ditetapkan dalam APBN 2019 sebesar Rp 1.577 triliun. Hingga semester I baru diterima Rp 603,34 triliun atau 38,25 persen dari target tersebut. Pemerintah pun memprediksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini akan naik hingga 2-2,2 persen dari Produk Domestik Bruto dari sebelumnya 1,86 persen.

Merosotnya peronomian Indonesia yang ditunjukkan oleh indikator makro di atas memiliki banyak faktor penyebab. Di antaranya semakin meningkatnya barang-barang konsumsi yang berasal dari impor yang itu juga berarti terjadi penurunan kemampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Inilah yang menyebabkan terjadnya imported inflation. Sebab lainnya adalah menurunnya daya beli masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun