Secara pribadi, saya beropini bahwa sistem perekrutan guru yang penuh politisasi di negeri kita yang tercinta ini memiliki kemungkinan kecil mau menerapkan sistem negara sosialis (apalagi kita adalah orang-orang yang anti PKI dan menolak segala sesuatu yang berbau Marxist), dimana lulusan terbaik digaji setara buruh serta ditempatkan di daerah kumuh atau terpencil.
Namun keburukan dari sistem zonasi dan sulitnya membuat sistem ini menjadi alat yang bisa menyama-ratakan pendidikan (butuh menjadi negara sosialis) tidak membuat saya bersimpati dengan sistem perekrutan sekolah dengan nilai. Sistem yang dikritik oleh Young (1958) dalam Satirenya ' The rise of Meritocracy' tentang pendidikan sebagai pencipta kebangsawanan baru menggantikan sistem aristocracy.Â
Sistem yang membuat sekolah sebagai penghasil kasta manusia. Manusia yang martabat dan tingkat sosialnya berasal dari nilainya. Sekolah adalah alat untuk memperoleh kasta bukan memperoleh ilmu.Â
Sungguh ironis karena kondisi pendidikan di Indonesia saat ini membuktikan bahwa para orang tua beranggapan bahwa derajat manusia sebagai bangsawan ditunjukkan dengan diterimanya ia di sekolah favorit. Â
Banyak orang tua yang menyatakan sistem zonasi tidak adil bagi anak pintar yang telah belajar keras untuk bisa mendapatkan nilai yang baik sehingga bisa diterima di sekolah favorit.Â
Bahkan ada yang berkomentar di media bahwa hasil kerja keras anaknya menjadi sia-sia karena nilainya yang bagus tidak berhasil membuatnya masuk ke sekolah favorit dan menyatakan untuk keadilan anak yang nilainya rendah seharusnya tidak berhak berada di sekolah favorit.Â
Hal ini  adalah hal yang absurd karena seakan bahwa anak yang pintar merupakan hasil kerja keras pribadi mereka saja. Mereka tidak mempedulikan bahwa nilai yang diperoleh terkadang sebagian besar bukan karena mereka memang lebih baik tetapi keberuntungan lahir di keluarga yang tepat. Seorang anak buruh cuci bisa jadi tidak akan punya waktu belajar karena kedua orangtuanya harus bekerja.Â
Sehingga waktunya dihabiskan untuk merawat adiknya dan rumah mereka. Maka 'keadilan' yang dimaksud para orang tua di atas berarti ia selalu akan menjadi anak bodoh dan hanya berhak bersekolah di tempat pinggiran. 'Keadilan' yang banyak dituntut saat ini adalah mereka adalah anak 'bodoh' yang tidak berhak bersekolah dengan kualitas baik dan menggeser anak pintar yang belajar mati-matian dan disediakan fasilitas lengkap oleh orang tuanya bukan dengan tugas mendapatkan ilmu di sekolah tapi menjadi bangsawan yang menikmati sekolah negeri favorit.
Selain itu banyak orang tua beralasan bahwa sekolah favorit yang menjadi rebutan karena memiliki fasilitas lengkap serta guru yang lebih baik sehingga akan mampu menghasilkan anak yang lebih pintar. Jika diamati dengan nalar, sebenarnya sekolah favorit yang memiliki fasilitas lengkap seperti lab tidak banyak memberi efek terutama di Indonesia.Â
Hal yang absurd jika menyakini sekolah favorit itu akan memberi murid nilai yang baik karena fasilitas lengkapnya. Padahal 95% waktu belajar mereka hanya diceramahi di dalam gedung sekolah dengan fasilitas utama papan tulis dan kapur yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan sekolah tidak favorit. Hal yang lebih lucu adalah keyakinan bahwa guru di sekolah favorit memiliki kualitas yang lebih baik padahal tidak ada sistem penempatan guru PNS di negeri kita tercinta ini yang mengalokasikan guru ke sekolah negeri berdasarkan kemampuan.Â
Pendapat yang sepertinya didukung hanya berdasarkan keyakinan bahwa sekolah favorit akan secara magis pasti dapat guru yang terbaik walau tanpa sistem seleksi dan tes. Dan hal ini menjadi makin absurd bagi pandangan saya, karena teori ilmu pendidikan memastikan bahwa kualitas keluarga adalah penentu utama kualitas nilai murid (Bourdieu dan Passeron, 1977).Â