Jumlah perokok aktif di Indonesia terus meningkat. Menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kini ada sekitar 70 juta perokok aktif di negara ini.
Angka tersebut jelas menunjukkan tingginya persentase orang yang merokok di Indonesia. Mereka tidak hanya merokok di rumah, tetapi juga di ruang publik seperti restoran, tempat wisata, bahkan di jalan raya sambil berkendara.
Kita semua tahu bahwa merokok memiliki banyak dampak buruk bagi kesehatan, seperti meningkatkan risiko kanker, stroke, serangan jantung, dan impotensi. Sayangnya, bagi mereka yang sudah kecanduan, bahaya-bahaya itu sering dianggap remeh.
Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa di antaranya merokok sambil berkendara. Tindakan ini tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga orang lain di jalan. Salah satu risiko yang sering terjadi adalah abu rokok yang dibuang sembarangan. Jika abu tersebut terkena mata pengendara lain, bisa menyebabkan iritasi parah, bahkan berpotensi menyebabkan kebutaan jika tidak segera ditangani.
Apa Harus Nunggu Ada Korban Buta Dulu Baru Sadar?
Beberapa kasus terkait hal ini sudah pernah terjadi. Pada tahun 2017, seorang pengendara motor bernama Rendhy Maulana nyaris buta karena matanya terkena bara rokok dari pengendara lain di Jakarta Timur. Kasus serupa juga terjadi pada 2021, ketika seorang wanita bercerita matanya terkena abu rokok saat berkendara.
Saya yakin masih banyak kejadian serupa yang terjadi di luar sana, hanya saja tidak semuanya viral atau mendapatkan perhatian publik.
Jadi, haruskah kita menunggu sampai ada korban yang benar-benar buta agar mereka yang merokok di jalanan sadar?
Masalahnya bukan cuma mata yang bisa terkena abu rokok, bagian tubuh lain seperti tangan juga bisa menjadi korban. Baru-baru ini, seorang teman saya mengeluh tangannya terkena abu rokok yang masih panas saat di jalan. Meski sudah ditegur, pengendara yang merokok itu justru bersikap acuh.
Saya percaya banyak orang lain yang pernah mengalami hal serupa, tetapi memilih diam karena takut bicara atau merasa percuma. Padahal, kita semua sudah berdoa dan berhati-hati agar selamat sampai tujuan, tapi di jalan kita malah dihadapkan dengan bahaya dari pengendara lain yang merokok.
Catat, merokok sambil berkendara sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106 Ayat 1. Pasal ini mengatur bahwa setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
Meskipun larangan merokok tidak disebutkan secara eksplisit, merokok dianggap sebagai tindakan yang dapat mengganggu konsentrasi saat berkendara.
Pelanggaran terhadap pasal ini bisa dijerat dengan Pasal 283, yang mengancam pelanggar dengan hukuman kurungan tiga bulan dan denda hingga Rp750 ribu.
Haruskah Kita Bertindak Sendiri?
Jika hukuman ini tidak membuat pengendara yang merokok sadar, apakah kita harus bertindak sendiri? Misalnya, mengikuti pengendara yang merokok sampai dia berhenti di minimarket, lalu "mempreteli" motornya sebagai bentuk protes?
Sebelum ada tindakan ekstrem seperti itu, alangkah baiknya jika para perokok lebih bijak dan berhenti merokok saat berkendara. Jika tidak peduli dengan keselamatan diri sendiri, setidaknya hargailah keselamatan orang lain di jalan.
Disclaimer: tulisan ini awalnya ingin saya kirim ke salah satu portal media lain dua bulan yang lalu, tapi ditolak. Sedih sih, mungkin karena topiknya sudah sering dibahas di sana atau tulisan saya kurang menarik. Tidak apa, saya akan coba lagi di kesempatan lain. Yang terpenting, saya bisa menumpahkan apa yang saya pikirkan di tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H