Fertilisasi in vitro atau In Vitro Fertilization (IVF), atau yang sering disebut bayi tabung, telah menarik perhatian publik sejak ditemukannya teknologi tersebut pada tahun 1978.Â
Lebih dari 2 juta anak hasil fertilisasi in vitro telah dilahirkan hingga saat ini dan besar kemungkinan pengembangan yang berkelanjutan akan menambah daya tarik dan kemudahan penerapannya [1].
Fertilisasi in vitro atau bayi tabung adalah serangkaian prosedur kompleks yang digunakan untuk menangani masalah kesuburan atau mencegah masalah genetik dan membantu mencapai kehamilan.Â
Selama proses IVF, ovum matang diambil dari ovarium dan dibuahi oleh sperma di laboratorium. Kemudian sel telur yang telah dibuahi, yakni embrio, dipindahkan ke rahim. IVF adalah bentuk teknologi reproduksi terbantu yang paling efektif [2].
Siapa yang memerlukan bayi tabung? Sebenarnya bayi tabung bukanlah satu-satunya solusi untuk orang yang mengalami masalah infertilitas dan masalah genetik. Ada pilihan lainnya seperti menggunakan obat kesuburan. Namun, ada beberapa kondisi yang menjadi alasan mengapa seseorang memilih fertilisasi in vitro.Â
Beberapa alasan tersebut adalah kondisi kesehatan di mana orang tersebut pernah menderita penyakit yang menurunkan kesuburan, kelainan genetik, penyebab infertilitas yang belum ditemukan, kualitas sperma yang rendah, tersumbatnya saluran reproduksi pria, ligasi tuba (saluran ovum tersumbat), endometriosis (kondisi abnormal ketika jaringan pembentuk lapisan dalam dinding rahim tumbuh di luar rahim yang seringkali terasa sakit [3]), dan ovarium prematur [4].
Teknologi bayi tabung cukup banyak menuai pro dan kontra. Bagi pasangan yang tidak bisa memiliki anak, teknologi bayi tabung adalah suatu alternatif dan jalan keluar untuk bisa memperoleh keturunan1. Namun, di sisi lain, teknologi ini cukup menimbulkan perdebatan dalam hal etika dan moral.Â
Dampak positif dari teknologi bayi tabung di antaranya adalah memberi harapan kepada pasangan suami istri yang lambat mempunyai anak atau mandul akibat kelainan organ reproduksi.
Dampak negatif dari teknologi bayi tabung di antaranya adalah terjadinya stimulasi indung telur yang berlebihan sehingga bisa menyebabkan beberapa keluhan, seperti kembung mual, dan muntah, meningkatnya risiko kehamilan kembar lebih dari dua anak meningkat karena banyaknya embrio yang dihasilkan dari proses fertilisasi in vitro, dan bermacam-macam risiko lain yang dapat timbul, seperti biaya yang dikeluarkan, kelelahan fisik, dan tekanan emosional [5].
Selain itu, kekhawatiran lain adalah pengguna IVF akan menyaring sifat tertentu dengan menggunakan diagnosis genetik praimplantasi atau Preimplantation Genetic Diagnosis (PGD) [6].Â
Konsep yang mengubah gen ini telah menciptakan konsep desainer bayi. Saat ini, PGD dapat mengubah beberapa atribut fisik dan kesehatan. Hal ini dapat menjadi proyeksi kekuatan masa depan. Namun, PGD yang mampu menciptakan manusia yang ideal telah menimbulkan banyak masalah etika.Â
Proyeksi dampak-dampak sosial, seperti pengubahan dunia atletik, penciptaan senjata manusia, dan pertukaran otonomi atas kehidupan seseorang dapat terjadi karena praseleksi embrio [7].Â
Selain itu, dengan pandangan yang masih sangat terbatas, sulit untuk mengubah susunan genetik manusia tanpa mengetahui dampak seutuhnya. Sebagai contoh, melalui terapi gen, suatu laboratorium mampu membuat tikus mengalami penurunan berat badan, tetapi efek jangka panjang manipulasi gen tersebut menyebabkan gangguan produksi toksin dan penurunan berat badan drastis [8].
Tingkat keberhasilan teknologi pembuahan in vitro ini memang tidak terlalu besar, biasanya hanya berkisar dua puluh persen, sedangkan biayanya cukup besar. Oleh karena itu, dalam praktik pelaksanaan program bayi tabung ini, sel telur atau ovum yang diambil tidak hanya satu melainkan lebih banyak, yaitu sekitar enam hingga sepuluh.Â
Embrio yang dikembalikan ke rahim setelah dibuahi juga lebih dari satu, tetapi banyak embrio yang dikembalikan disesuaikan dengan kemampuan si wanita itu mengandung dan membesarkannya. Karena itulah, biasanya embrio yang ditanam kembali ke dalam rahim hanya sekitar dua hingga empat saja [9].
Dengan adanya embrio yang ditanam kembali lebih sedikit dari pada yang dibuahi ini maka timbullah masalah, yaitu diapakan kah sisa embrio yang tidak ditanam kembali ke dalam rahim tersebut? Masalah inilah yang akan dicoba untuk dicarikan jalan keluarnya yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.Â
Ada setidaknya tiga alternatif yang bisa dilakukan terhadap embrio-embrio tersebut. Ketiga alternatif yang bisa diterapkan terhadap embrio-embrio tersebut adalah sebagai berikut: pertama, ditransplantasikan ke dalam rahim wanita lain (surrogate mother); kedua, dibekukan dan disimpan dalam bentuk beku; dan ketiga dimusnahkan [9].
DAFTAR PUSTAKA
- Wang J, Sauer MV. In Vitro Fertilisation (IVF): a review of 3 decades of clinical innovation and technological advancement. Ther Clin Risk Manag [Internet]. 2006 Dec [cited 2019 Aug 18]; 2(4): 355--364. Available from:Â
- Mayo Clinic Staff. In Vitro Fertilization (IVF) [Internet]. 2019 Jun 22 [cited 2019 Aug 18]. Available from:Â
- Mayo Clinic Staff. Endometriosis [Internet]. 2019 March 23 [cited 2019 Aug 19]. Available from:Â
- Honestdocs Editorial Team. Bayi tabung: proses, efek samping, dan biaya [Internet]. 2019 May 24 [updated 2019 Jul 13; cited 2019 Aug 18]. Available from:Â
- Maulana A, Nurlatifah SC, Septiani AD. Bayi tabung sebagai implementasi teknologi di bidang reproduksi dan embriologi manusia [dissertation]. Serang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; 2018.
- Lawson D. Of course a deaf couple want a deaf child [Internet]. 2008 March 11 [cited 2019 Aug 19]. Available from:Â
- Sandel MJ. The case against perfection: what's wrong with designer children, bionic athletes, and genetic engineering. Atlantic Monthly [Internet]. 2004 Apr [cited 2019 Aug 19];293(3):51-62. Available from:Â
- Ahima RS. Obesity gene therapy: slimming immature rats. Gene Therapy. 2003;10:196--19.
- Suwito. Problematika bayi tabung dan alternatif penyelesaiannya. Al-Hukama [Internet]. 2011 Dec [cited 2019 Aug 18]; 1(2):150-75. Available from: Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H