G Peter Hoefnagels
(Gerard) Peter Hoefnagels adalah seorang ahli kriminologi yang mempelajari hukum dan psikologi. Ia lahir di Bilthoven, 26 Oktober 1927. Pada periode 1950-1954 ia bekerja di pengadilan militer, kemudian sampai tahun 1956 di dewan perwalian. Hoefnagels memperoleh gelar doktornya pada tahun 1957 di bawah bimbingan profesor Ger Kempe tentang metode pelaporan Dewan Perlindungan Anak. Dari tahun 1965 hingga 1993 ia menjadi profesor kriminologi dan hukum pemuda dan keluarga di Universitas Erasmus Rotterdam. Dari tahun 1987 hingga 1995 dia menjadi senator di Senat untuk D66
Kejahatan (Crime) adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma agama, norma moral, norma sosial dan norma hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipertanggungjawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun karena kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak ikut memperhatikan masalah ini. Terlebih lagi menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak, terdapat kecenderungan perkembangan peningkatan dari bentuk dan jenis kejahatan tertentu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Â
Kebijakan Kriminal
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Kebijakan kriminal terhadap kejahatan ideologi tidak hanya berfokus pada yuridis normatif semata, melainkan perlu kebijakan yang integral komprehensif dari berbagai kondisi sosial lainnya. Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari "kebijakan hukum pidana" (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya juga adanya kebijakan politik kriminal. Hal ini demi kebijakan penegakkan hukum atau "Law enforcement".
Berbicara mengenai kebijakan kriminal atau politik kriminal sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa upaya menanggulangi kejahatan disebut politik kriminal (criminal policy) yang berarti suatu usaha rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan atau tindak pidana. Adapun mengenai kebijakan kriminal itu, Sudarto juga mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:
- dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
- dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
- dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Politik kriminal hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik social yang dilakukan baik dengan menggunakan kebijakan hukum pidana (penal policy) maupun non-penal, namun haruslah memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu dengan menunjang tujuan (goal) "social welfare" dan "social defence".
Tujuan dari politik kriminal atau kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah, seperti kebahagian warga masyarakat/penduduk (happiness of the citizen); kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living), kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan (equality). Secara sederhana tujuan kebijakan kriminal itu sendiri adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat akan rasa aman, tenteram, adil, makmur, dan sampai pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau penegakan hukum secara politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang luas, sebagaimana teori G. Peter Hoefnagels yang dituliskan dan digambarkan kembali oleh Barda Nawawi Arief mengenai "criminal policy", dengan skema dibawah ini:
Menurut teori G. Peter Hoefnagels, upaya penanggulangan kriminal dapat ditempuh dengan:
- Penerapan hukum pidana (criminal law application);
- Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
- Pengaruhi pandangan masyarakat tentang kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat di bagi dua yaitu lewat jalur penal atau hukum pidana dan non penal atau non hukum pidana atau di luar hukum pidana. Dalam pembagian tersebut upaya-upaya yang di sebut dalam butir 2 dan 3 dapat dimasukkan dalam kelompok upaya "non penal". Bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat repressive yaitu penindasan/pemberantasan/penumpasan sesudah kejahatan terjadi.
G. Peter Hoefnagels juga mengemukakan bahwa, "criminal policy is the rational organizations of the social reaction to crime." Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) dapat dijelaskan sebagai :
1. Criminal policy is the science of response (kebjakan kriminal adalah ilmu tentang reaksi dalam menghadapi kejahatan)
2. Criminal policy is the science of crime prevention (kebijakan kriminal adalah ilmu untuk menaggulangi kejahatan)
3. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime (kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk merancang tingkah laku manusia sebagai kejahatan)
4. Criminal policy is a rational total of the responses to crime (kebijakan kriminal adalah suatu reaksi terhadap kejahatan yang
Memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka wajarlah apabila politik kriminal merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan perlindungan masyarakat sebagai perwujudan pembangunan manusia seutuhnya. Upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana, seperti halnya penanggulangan tindak pidana (politik kriminal) dapat ditempuh atau dilakukan dengan menggunakan sarana kebijakan hukum pidana (penal) maupun dengan menggunakan sarana pendekatan preventif (non-penal).
- Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
- Marc Ancel menyatakan, bahwa "modern criminal science" terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu; "criminology", "criminal law", "penal policy". Marc Ancel juga pernah mengemukakan mengenai kebijakan hukum pidana "penal policy" sebagaimana yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief, bahwa "penal policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Pendekatan Penal (Hukum Pidana), artinya penerapan hukum pidana atau Kriminal Law Application yakni jika anak melakukan tindak pidana maka ada prosedure penanganan sampai pada pengenaan sanksi berupa pidana dan atau tindakan. Upaya penanggulangan kejahatan lewat penal lebih menitik beratkan pada sifat represive yakni berupa penindasan, pemberantasan, penumpasan sesudah kejahatan itu terjadi
- Pendekatan non Penal (non hukum pidana)
- yakni usaha dalam bentuk pembinaan, dan atau usaha pendidikan non formal lainnya. Pendekatan non penal lebih menitikberatkan pada sifat prefentif berupa pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi, mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya tindakan kejahatan maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau kesuburan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan
Penerapan Kebijakan Kriminal di Ruang Lingkup Indonesia
Pendayagunaan UU No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 : a. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy); b. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (nonpenal policy). Kedua sarana (penal dan nonpenal) tersebut di atas merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat. Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan UU 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, memperhatikan beberapa langkah strategis yang dimulai dari substansi hukum, struktur hukumnya dan pemberdayaan masyarakat atau disebut budaya hukum dalam rangka mencegah tindak pidana korupsi yang kian marak di negeri ini.
Berdasarkan pendapat Hoefnagels, dapat diketahui bahwa penerapan hukum pidana untuk menangulangi kejahatan meliputi ruang lingkup berikut.
1. Administrasi peradilan pidana dalam arti sempit, yaitu pembuatan hukum pidana dan yurisprudensi, proses peradilan pidana dalam arti luas (meliputi kehakiman, ilmu kejiwaan, ilmu sosial), dan pemidanaan.
2. Psikiatri dan psikologi forensik.
3. Forensik kerja sosial.
4. Kejahatan, pelaksanaan pemidanaan dan kebijakan statistik.
Diatur mengenai sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap membuktikan dakwaannya. Hal ini ditentukan dalam Pasal 37, 37A, 38A, 38B UU No. 31 Tahun 19999 jo UU No. 20 tahun 2001. Sistem pembuktian seperti itu merupakan suatu penyimpangan dari KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, jadi bukan terdakwa yang membuktikannya. Akan tetapi UU Korupsi menentukan terdakwa berhak melakukannya. Apabila ia dapat membuktikan bahwa tindak pidana korupsi tidak terbukti, tetap saja penuntut umum wajib membuktikan dakwaannya. Inilah yang disebut sistem pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana berkaitan dengan gratifikasi dan tuntutan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari hasil korupsi. Tidak kalah pentingnya, hal baru yang berupa perluasan tempat berlakunya UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 (Pasal 16), jadi memuat ketentuan yuridiksi ke luar batas teritorial (extraterritorial). Ini mempunyai relevansi dengan perkembangan tindak pidana yang bersifat transnasional dan global, khususnya terjadi pula pada tindak pidana korupsi. Dengan undang-undang tersebut berarti memperkuat daya-jangkaunya jika dihadapkan pada pelaku yang berada d luar batas teritorial.
Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang merupakan perundangundangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief4 menyarankan dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal.Â
Daftar Pustaka :
- Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana, di muat dalam Masalah-Masalah Hukum, Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, No. 2-4 Tahun XII, 1982
- Ravena, Dey dan Kristian. 2017. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Edisi Pertama. Jakarta: Kencana
- Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 1
- https://nl.wikipedia.org/wiki/Peter_Hoefnagels
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H